Site icon Kabarindo24jam.com

Debt Collector Meresahkan, DPR Desak Hapus Ketentuan di POJK 22

Kabarindo24jam.com | Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didesak untuk segera menghapus ketentuan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, khususnya Pasal 44 ayat (1) dan (2). Sebab aturan tersebut memberikan legitimasi kepada pelaku jasa keuangan untuk menagi utang lewat pihak ketiga atau jasa penagih (debt collector).

“Idelany OJK menghapus aturan pelaku jasa keuangan yang boleh melakukan penagihan utang menggunakan jasa pihak ketiga. Alasannya, praktik di lapangan tidak sesuai aturan dan malah banyak tindak pidana, saya mendorong juga masalah utang ini diselesaikan secara perdata,” kata Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah dikutip dari situs resmi DPR, Minggu (12/10/2025).

Ia pun menyampaikan keprihatinannya atas berbagai tindak pidana yang dilakukan oleh penagih utang. Ia juga menyoroti kejadian di Lapangan Tempel Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Kamis (2/10), di mana mobil milik debt collector dilempari batu oleh warga saat hendak menarik kendaraan di kawasan permukiman.

Aksi warga itu terjadi karena mobil debt collector melaju dengan kecepatan tinggi, memicu kegaduhan dan keresahan di lingkungan sekitar. “Pelanggaran yang dilakukan penagih utang ini sudah banyak diadukan,” jelas Abdullah.

Berdasarkan data OJK sepanjang Januari hingga 13 Juni 2025, terdapat 3.858 pengaduan terkait praktik penagihan utang oleh pihak ketiga yang tidak sesuai aturan. Sehingga banyak debt collector diduga melakukan tindak pidana seperti ancaman, kekerasan, hingga mempermalukan debitur.

“Namun pertanyaan saya, sudah berapa banyak perusahaan jasa keuangan yang diberi sanksi administratif atau bahkan sampai pidana?” ucap legislator dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah (Jateng) VI itu.

Lebih lanjut, Abdullah mendorong agar penyelesaian utang dilakukan melalui jalur perdata, agar lebih manusiawi dan sesuai prosedur hukum yang berlaku. “Melalui perdata perusahaan jasa keuangan mesti mengikut mekanisme yang ada,” ujarnya.

“Mulai dari penagihan, penjaminan, sampai penyitaan. Mereka yang berutang atau debitur, jika tidak mampu membayar juga akan masuk daftar hitam atau blacklist nasional melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Bank Indonesia atau OJK,” tambah Abdullah.

Ia mengakui bahwa desakan dan dorongan ini disampaikannya lantaran mengacu pada perspektif hukum dan HAM yang melindungi konsumen sebagai pihak yang rentan. Namun, penagihan utang juga adalah hak kreditur atau pelaku jasa keuangan yang harus dihormati.

“Maka itu, negara hukum yang beradab tidak mengukur keberhasilan penegakan hukum dari seberapa banyak orang dipaksa membayar utang, melainkan dari seberapa jauh hak manusia dihormati dalam proses itu,” imbuh Abdullah. (Cky/*)

Exit mobile version