Kabarindo24jam.com | Amerika – Ratusan ribu warga Amerika Serikat tumpah ke jalan dalam aksi unjuk rasa bertajuk “No Kings” di seluruh 50 negara bagian pada Sabtu (18/10/2025). Gelombang protes besar ini meletup sebagai bentuk kemarahan terhadap kebijakan Presiden Donald Trump yang dinilai semakin otoriter dan menjauh dari nilai-nilai demokrasi. Dari New York hingga Los Angeles, massa membawa pesan serupa: menolak kepemimpinan yang dianggap menyerupai “raja.”
Di Washington DC, ribuan orang berkumpul di sekitar Gedung Capitol sambil meneriakkan “Beginilah demokrasi!” di tengah kebuntuan legislatif yang telah membuat pemerintahan federal lumpuh selama tiga minggu. Di berbagai kota besar, spanduk dan bendera berwarna-warni membanjiri jalanan, menuntut perlindungan terhadap demokrasi dan penghapusan lembaga Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) yang dianggap sebagai simbol kerasnya kebijakan anti-imigran Trump. Beberapa peserta bahkan membawa bendera “One Piece” sebagai simbol perlawanan global terhadap otoritarianisme.
Aksi yang diklaim diikuti hingga tujuh juta orang itu menyebar luas hingga ke kota kecil, bahkan di sekitar kediaman Trump di Florida. Di New York, pihak berwenang memperkirakan lebih dari 100 ribu orang hadir, sementara di Washington, jumlah massa mencapai sekitar 10 ribu. Banyak peserta menilai aksi ini sebagai momen penting dalam sejarah politik AS untuk menegaskan kembali bahwa kekuasaan tidak boleh terpusat pada satu figur. Seorang peserta, Colleen Hoffman (69), mengaku ikut turun ke jalan karena merasa negaranya sedang kehilangan arah demokrasi.
Di sisi lain, Presiden Trump menanggapi gelombang kritik ini dengan unggahan video bergaya satir di platform X, memperlihatkan dirinya mengenakan jubah kerajaan dan mahkota. “Mereka menyebut saya raja, tapi saya bukan raja,” ujarnya dalam wawancara di Fox News. Pernyataan itu menuai beragam tanggapan—sebagian menganggapnya sarkasme, sebagian lain menilai Trump justru menegaskan kritik terhadap gaya kepemimpinannya. Ketua DPR Mike Johnson, pendukung Trump, menyebut demonstrasi itu sebagai “pawai kebencian” dari kelompok ekstrem kiri, namun pernyataan tersebut justru memantik ejekan balik dari peserta aksi.
Fenomena ini memperlihatkan meningkatnya polarisasi di Amerika menjelang pemilihan umum 2026. Para pengamat politik menilai demonstrasi “No Kings” merupakan sinyal kuat bahwa sebagian besar warga menolak konsentrasi kekuasaan berlebihan, terlebih di tengah meningkatnya penggunaan teknologi seperti video AI yang dapat memengaruhi persepsi publik. Aksi tersebut juga mencerminkan keresahan terhadap masa depan sistem pemerintahan AS yang selama ini dijadikan teladan demokrasi dunia.
Dengan protes yang meluas hingga lintas negara bagian dan dukungan publik yang besar, “No Kings” tampak bukan sekadar slogan sesaat, melainkan peringatan keras terhadap bahaya kultus individu dalam politik Amerika modern. (Man*/)