Site icon Kabarindo24jam.com

Kejaksaan Cegah Praktik Transaksional dalam Pelaksanaan Restorative Justice

Oplus_0

Kabarindo24jam.com | Jakarta – Pihak Kejaksaan Agung menegaskan bahwa pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice/RJ) dijalankan oleh jajaran Kejaksaan dengan mekanisme ketat dan berlapis untuk mencegah potensi penyimpangan, termasuk praktik transaksional dalam proses dan persetujuannya.

Dalam satu acara talk show di kampus Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) baru-baru ini, Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta, Suroto, mengemukakan hal tersebut. Menurutnya, proses seleksi kasus RJ dilakukan secara cermat mulai dari pengkajian berkas hingga penilaian profil pelaku.

“Ketika syarat-syarat itu sudah terpenuhi, kami (Jaksa, red) juga meneliti lebih jauh kondisinya, masyarakatnya, kemudian kepribadian pelaku, kemudian perilaku pelaku di masyarakat gimana, jadi tidak serta merta memenuhi syarat kita ajukan RJ,” tegas Suroto.

Adapun kriteria utama agar perkara dapat diajukan ke RJ mencakup: pelaku merupakan residivis pertama, ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun, adanya kesepakatan damai dengan korban, serta dukungan masyarakat terhadap upaya penyelesaian damai.

Pernyataan Suroto itu diamini oleh Kasubdit Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Perbankan pada Direktorat UHLBEE Jampidsus, Agustinus Herimulyanto, yang kemudian menyampaikan penekanan bahwa setiap permohonan RJ dikaji secara berlapis dari tingkat Kejaksaan Negeri hingga ke pusat.

“Mekanisme RJ yang dilakukan oleh Kejaksaan sangat selektif dan berjenjang. Kejari dan Kejati harus memaparkan ke Jampidum. Artinya, semua keputusan RJ langsung terkontrol oleh Jampidum dan Jaksa Agung,” ujar Agustinus.

Terpisah, Direktur Teknologi Informasi dan Produksi Intelijen Kejaksaan Agung Herry Hermanus Horo, menyampaikan bahwa Kejaksaan kini tidak hanya menjadi institusi penegak hukum konvensional, tetapi telah berkembang menjadi pelayan keadilan melalui konsep Justice Service.

“Jika penegakan hukum selaras dengan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat, maka dukungan publik pun akan otomatis mengikuti,” jelasnya seraya menyebut bahwa kebijakan RJ lahir dari kekosongan ruang keadilan yang dirasakan masyarakat.

Di sinilah peran Jaksa menjadi penting sebagai pengisi celah tersebut. “Keadilan restoratif itu lahir karena adanya kekosongan dalam ruang keadilan. Jaksa melihat kekosongan itu, dan mengisi ruang tersebut di tengah masyarakat,” pungkasnya.

Diketahui, untuk mengantisipasi potensi penyimpangan dalam penanganan RJ, Kejaksaan RI telah membentuk Satuan Tugas 53 (Satgas 53) melalui Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 261 Tahun 2020. Satgas ini memiliki mandat untuk mencegah dan mendeteksi secara dini segala bentuk penyalahgunaan kewenangan maupun perbuatan tercela dalam pelaksanaan tugas institusi kejaksaan. (Cky/*)

Exit mobile version