Rabu, 28 Mei 2025

Pilu Pernikahan Anak di Lombok,Karena Tradisi?

Kabarindo24jam, LOMBOK TENGAH – Sebuah kisah pilu dari Desa Petak Daye I, Lombok Tengah, menggugah hati publik setelah viralnya pernikahan antara YL (14), siswi kelas 1 SMP, dengan RN (16), remaja putus sekolah. Pernikahan mereka digelar secara adat Sasak pada 5 Mei 2025, dan disusul dengan prosesi Nyongkolan meriah pada 21 Mei 2025 yang ramai diperbincangkan di media sosial.

Di balik kemeriahan adat, tersembunyi kenyataan getir tentang masa depan yang belum siap mereka jalani. RN mengaku nekat kabur ke Sumbawa bersama YL demi menghindari perceraian paksa dari pihak keluarga. “Supaya tidak dibelas,” katanya singkat. Dibelas artinya di pisahkan dari pasangannya, dalam bahasa setempat

Yang mengejutkan, RN sebelumnya berpacaran dengan kakak kandung YL sebelum akhirnya berpaling kepada YL karena “paras cantiknya”. Singkat cerita, cinta remaja itu berujung pada pernikahan yang menyita perhatian publik.

Kini, RN menjadi kepala keluarga di usia belia, tinggal bersama neneknya yang sudah renta. Mereka hidup tanpa penghasilan tetap, tanpa bekal pendidikan yang memadai, dan tanpa jaminan masa depan yang jelas. YL, sang istri, yang seharusnya masih berseragam putih biru, kini harus menjalani peran sebagai istri di usia yang masih sangat muda.

Adat vs Hukum: Dilema Sosial yang Tak Mudah

Kepala Dusun Petak Daye I, Syarifudin, menahan lirih saat berbicara soal tradisi Merariq — kawin lari yang sudah mengakar dalam budaya Sasak. “Kami sudah berusaha. Tapi kalau anak perempuan sudah dibawa lari dua malam, adat menuntut harus dinikahkan. Kalau tidak, keluarga akan dipermalukan,” tuturnya dengan nada menyesal.

Baca Juga :  Pemkab Bogor Akan Bangun Tempat Pembuangan Sampah di Jasinga

Tradisi ini menciptakan dilema besar di tengah masyarakat. Di satu sisi, ada nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi. Di sisi lain, hukum negara yang lebih tegas melindungi hak-hak anak.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) secara eksplisit melarang pernikahan anak karena termasuk dalam bentuk kekerasan seksual. Pelanggar dapat dikenai sanksi pidana. Namun dalam kenyataannya, adat sering kali lebih “berkuasa” daripada hukum tertulis.

Kisah YL dan RN bukan sekadar cerita viral, tetapi menjadi cermin atas masih rapuhnya perlindungan anak di wilayah-wilayah yang adatnya begitu kuat. Ini adalah panggilan bagi semua pihak pemerintah, tokoh adat, pendidik, dan masyarakat luas, untuk memperkuat edukasi dan penyadaran tentang bahaya pernikahan usia anak.

Anak bukan hanya sekadar anggota keluarga, mereka adalah masa depan bangsa. Pernikahan dini merenggut hak mereka untuk belajar, bermain, dan berkembang secara optimal.

Hargai budaya, tapi jangan korbankan masa depan. Pendidikan adalah hak, bukan kemewahan. Dan masa depan anak-anak kita tidak boleh dikorbankan atas nama adat atau aib keluarga.

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini