Kabarindo24jam.com | Inggris – Saya masih bisa merasakan hembusan angin yang lembab dan lembut menusuk jaket saya ketika pertama kali melangkah ke tanah Two Bridges—sebuah titik sunyi yang menawan di jantung Taman Nasional Dartmoor, Devon. Nama tempat ini mungkin terdengar sederhana, tapi seperti banyak tempat di Inggris, ia menyimpan cerita panjang, tua, dan tak lekang oleh waktu.
Two Bridges bukan sekadar nama yang menggambarkan keberadaan dua jembatan. Ia adalah sebuah tempat yang seperti terjebak di antara mitos dan sejarah,juga antara indahnya masa lalu dan ketenangan di masa kini. Saya datang ke sini bukan karena populer di Instagram, bukan pula karena disarankan Google. Saya datang karena cerita—dan aroma petualangan yang tak ditemukan di tempat lain.
Perjalanan menuju ke sini seperti memasuki lukisan klasik Inggris. Jalanan berliku dari arah Princetown dipagari hamparan lumut, rerumputan liar, dan batu-batu granit yang entah berapa abad sudah mengintip para pengelana yang lewat. Two Bridges berada di titik pertemuan dua jalan tua: B3212 dan B3357, yang dahulu adalah jalur utama pedati dan para pengembara.
Menurut peta tua bertahun 1765, tempat ini dinamai karena dua sungai kecil, West Dart dan Cowsic, yang perlu diseberangi lewat dua jembatan terpisah. Tapi ketika saya menjejakkan kaki di sana, hanya ada satu jembatan batu yang tampak. Atau begitulah yang tampak di awal. Beberapa langkah kemudian, tersembunyi di sisi yang sedikit lebih baru, berdiri sebuah jembatan tambahan—tanda bahwa sejarah tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya bersembunyi dalam diam.
Di masa lalu, tempat ini pernah ramai oleh pasar kentang. Ya, pasar kentang! Sulit dibayangkan ketika kini yang tersisa hanya hamparan hijau luas dan sunyi yang membungkam. Tapi bila diam sejenak dan pejamkan mata, mungkin bisa terbayang dan terdengar suara riuhnya pasar, denting logam kereta, dan tawa orang-orang yang kini hanya tinggal bayang.
Tempat persinggahan utama para pedagang dan pejalan dahulu adalah Saracen’s Head—sebuah penginapan kereta kuda yang kini dikenal sebagai Two Bridges Hotel. Saya mampir sejenak, menyeruput teh hangat di ruang makannya yang klasik, dan membayangkan para penambang kecil di abad ke-18 yang mungkin duduk di tempat yang sama, membicarakan hasil tambang mereka dan cuaca yang tak menentu di atas Dartmoor.
Tapi jangan kira Two Bridges hanya menawarkan nostalgia. Di sekelilingnya, terbentang warisan prasejarah: reruntuhan pemukiman Zaman Perunggu, susunan batu-batu megalitik, dan si raksasa sunyi bernama Beardown Man—sebuah batu berdiri setinggi lebih dari 3 meter, berdiri angkuh di utara. Hanya beberapa kilometer dari situ, saya berjalan kaki ke Wistman’s Wood, hutan ek kuno yang penuh lumut dan kabut, seperti latar film fantasi. Pohonnya melengkung tak wajar, seolah ada roh tua yang menghidupkan mereka.
Devonport Leat, saluran air buatan yang dibangun dengan tangan manusia lebih dari dua abad lalu, mengalir tenang di dekat Two Bridges—menyatu dalam lanskap yang tak berubah oleh waktu.
Dan di tengah bentangan sunyi itu, berdirilah Two Bridges Hotel. Jangan bayangkan hotel modern dengan keramik mengkilap. Begitu Anda melangkah masuk, rasanya seperti pulang ke rumah seseorang di abad ke-18—dengan perapian batu yang menyala, jam tua berdetak pelan, karpet merah tua, dan denting piring teh porselen. Hotel ini dulunya adalah penginapan kereta kuda, dibangun pada 1792 oleh Sir Frances Buller, yang menamainya Saracen’s Head dari lambang keluarga.
Kini, hotel itu bukan sekadar tempat tidur. Ia adalah penjaga memori. Kamar-kamarnya terbagi dalam tiga tipe: yang pedesaan dan hangat, kamar bersejarah dengan sentuhan antik yang orisinal, dan kamar premier untuk mereka yang ingin berendam dalam spa sambil mengintip lanskap moor melalui jendela bertirai renda. Saya menginap di kamar bersejarah—dinding batu tebal, tempat tidur kayu tua, dan suara jangkrik halus dari luar jendela menemani malam saya yang tak terlupakan.
Dan soal makan? Bayangkan makan malam tiga hidangan yang disajikan dengan anggur lokal, roti hangat, dan daging domba Dartmoor yang dimasak perlahan oleh koki berbakat. Semua bahan segar, diambil dari petani, nelayan, dan produsen lokal. Pantas saja hotel ini dianugerahi penghargaan AA Rosette dan gelar “Restoran Hotel Terbaik” dari Food Drink Devon.
Tapi keindahan Two Bridges tak berhenti di dinding batunya. Beberapa langkah dari hotel, saya menjelajahi reruntuhan pemukiman Zaman Perunggu, menyapa Beardown Man, batu berdiri berusia ribuan tahun, dan menembus kabut menuju Wistman’s Wood—hutan ek tua yang tampak seperti potongan dunia peri. Kabut di sini bukan sekadar cuaca, ia adalah karakter. Ia membentuk suasana dan membawa bisikan legenda.
Dartmoor bukan tempat untuk mereka yang mencari gemerlap. Ia adalah rumah bagi mereka yang mencari sunyi, sejarah, dan keajaiban kecil yang tertinggal di sela bebatuan tua dan sungai dingin yang mengalir.
Saya tidak datang ke Two Bridges untuk sekadar menginap. Saya datang untuk merasa kecil di hadapan waktu.
Saya tidak bisa menyarankan lebih kuat dari kalimat ini —datanglah ke sini. Bukan untuk pamer foto, bukan untuk mencari sinyal WiFi, tapi untuk duduk dan mendengarkan. Angin di Dartmoor berbicara. Batu-batunya menyimpan cerita. Dan di Two Bridges, setiap langkah adalah napak tilas sejarah Inggris yang paling sunyi namun paling hidup.
Dan seperti saya, Anda mungkin akan pergi dari sini membawa lebih dari sekadar foto. Anda akan pulang dengan cerita. (Ries*/)
Ariestia Wulandari adalah penulis dan pejalan, pernah tinggal di Inggris dan selalu terpanggil oleh tempat-tempat yang bercerita tanpa kata.