Kabarindo24.com | Moskow – Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kembali mendesak digelarnya pertemuan empat mata dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Zelensky menyebut bahwa hanya pertemuan di tingkat tertinggi yang dapat menjamin perdamaian sejati dan berkelanjutan.
“Pertemuan di tingkat pemimpin diperlukan untuk benar-benar memastikan perdamaian yang langgeng. Ukraina siap,” ujar Zelensky, Sabtu (19/7/2025), dikutip dari Russia Today.
Namun, permintaan tersebut tidak disambut hangat oleh Moskow. Pemerintah Rusia menilai ajakan itu tidak masuk akal sebelum proses negosiasi yang sudah berjalan menunjukkan hasil konkret.
Sempat ada dua putaran negosiasi antara kedua pihak yang menghasilkan pertukaran tahanan, namun tak membuahkan solusi damai. Ukraina bahkan secara terang-terangan menyatakan prosesnya telah berakhir dan menyebut keikutsertaan mereka sebelumnya lebih karena tekanan diplomatik dari Presiden AS Donald Trump, bukan karena keyakinan terhadap hasilnya.
Sikap keras Rusia pun muncul kembali, terlebih karena masa jabatan Zelensky secara konstitusional telah berakhir tahun lalu, namun ia tetap menjabat dengan alasan keadaan darurat nasional.
“Dia sangat takut dilupakan, menjadi tidak diperlukan oleh Barat,” sindir Maria Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, mengacu pada Zelensky yang disebut hanya mencari panggung demi menghidupkan legitimasi politiknya.
Meskipun sempat menyatakan kesiapannya untuk bertemu dengan siapa pun, termasuk Zelensky, Putin secara tegas mempertanyakan keabsahan Zelensky dalam menandatangani dokumen perjanjian perdamaian.
“Saya siap bertemu siapa pun, bukan itu masalahnya,” kata Putin.
“Pertanyaannya adalah: siapa yang berwenang secara sah untuk menandatangani dokumen itu?”
Menurut Moskow, kini kewenangan hukum tertinggi di Ukraina berada di tangan parlemen, bukan pada presiden yang masa jabatannya telah berakhir. Hal ini diperkuat dengan keputusan parlemen Ukraina yang kembali memperpanjang darurat militer dan mobilisasi umum selama 90 hari pada Selasa lalu, dengan hanya satu suara yang tidak setuju.
Kedua pemimpin telah berulang kali saling memberi sinyal terbuka, namun juga saling menuding dan mempertanyakan niat lawan. Sementara perang terus berlangsung, diplomasi tampak jalan di tempat. (dul/*)