Kabarindo24jam.com | Jakarta – Menteri Koordinator (Menko) Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa TNI tidak bisa melaporkan konten kreator, Ferry Irwandi, atas dugaan pencemaran nama baik. Yusril pun menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan institusi tidak bisa melaporkan pencemaran nama baik.
“Berdasarkan putusan MKdalam kasus pencemaran nama baik itu korbannya yang harus melaporkan itu adalah individu, bukan institusi. Saya kira clear masalah itu,” kata Yusril kepada wartawan di Jakarta, Kamis (11/9/2025). Yusril juga menyampaikan pihak TNI sekadar berkonsultasi dengan pihak kepolisian terkait pencemaran nama baik.
Ia menyebut pihak kepolisian sudah menjawab hal tersebut. “TNI itu berkonsultasi dengan kepolisian apakah bisa institusi itu melapor sebagai korban, tapi sudah dijawab oleh pihak kepolisian,” tutur Yusril yang juga pakar hukum tata negara.
Meski demikian, Yusril mempersilakan jika ingin menempuh upaya hukum lain di luar dari dugaan pidana pencemaran nama baik. “Kalau ada langkah-langkah hukum yang mau ditempuh silakan saja, tapi bukan dengan delik pencemaran nama baik, karena pencemaran nama baik itu kan kasusnya adalah individu,” jelas Yusril.
Diketahui, putusan MK itu tertuang dengan nomor 105/PUU-XXII/2024. Putusan ini diucapkan dalam sidang pleno MK pada 29 April 2025 oleh sembilan hakim konstitusi, yaitu Suhartoyo selaku ketua merangkap anggota serta Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Anwar Usman, Daniel Yusmic P Foekh, Arief Hidayat, M Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani yang masing-masing sebagai anggota.
Pemohon perkara ini adalah Daniel Frits Maurits Tangkilisan yang merupakan karyawan swasta. Dalam permohonannya, Daniel memohon MK agar MK menguji UU ITE Pasal 27A, Pasal 45 ayat 4, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 45A ayat 2.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. MK menyatakan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A serta Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan’,” bunyi amar putusan MK.
Dalam pertimbangannya, MK mengatakan UU 11/2008 itu konteksnya sama dengan Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023, yaitu frasa ‘orang lain’ dalam melakukan tindakan pencemaran di dua aturan itu merujuk kepada seseorang, bukan lembaga pemerintah dan sekelompok orang.
“Oleh karena terdapat adanya ketidakjelasan batasan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang diserang kehormatan atau nama baiknya maka norma pasal a quo rentan untuk disalahgunakan. Padahal, Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 juga sama-sama menggunakan frasa ‘orang lain’ untuk merujuk pada korban dari pencemaran nama baik.
Dengan merujuk pada Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 dan Penjelasannya, sekali lagi tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma-norma yang terdapat dalam KUHP 2023, terhadap hal tersebut telah ditentukan pihak yang tidak bisa menjadi korban dari tindak pidana pencemaran nama baik, yaitu lembaga pemerintah atau sekelompok orang,” kata MK dalam pertimbangannya.
MK menyatakan, apabila badan hukum menjadi korban pencemaran, ia tidak bisa menjadi pihak pengadu atau pelapor. MK juga menyebutkan hanya korban (individu) yang dicemarkan nama baiknya yang dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum dan bukan perwakilannya.
“Oleh karena itu, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU 1/2024 apabila yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan. Walakin, pengecualian tersebut tidak menutup kemungkinan pihak yang dikecualikan mengajukan gugatan dengan menggunakan sarana hukum perdata,” katanya.
“Dengan demikian, untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka terhadap Pasal 27A UU 1/2024 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang frasa ‘orang identitas spesifik atau tertentu, lain’ tidak dimaknai ‘kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan institusi, korporasi, profesi atau jabatan’,” imbuhnya MK. (Cky/*)