Kabarindo24jam.com | JAKARTA — Satu dekade lebih publik mengenal Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, sebagai sosok pejabat yang berani berhadapan dengan praktik-praktik anggaran tak transparan. Kini, meski tak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok tetap berdiri di garis depan melawan korupsi. Sikap ini kembali terlihat saat ia hadir sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan rumah susun di Cengkareng, Jakarta Barat.
Ahok memenuhi panggilan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri pada Rabu (11/6/2025). Bukan karena tersangkut pusaran perkara, tetapi untuk memperkuat upaya penegakan hukum dengan memberikan keterangan tambahan.
“Hanya melengkapi dan menambahkan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) terdahulu. Intinya membantu kepolisian agar tersangka bisa dijerat salah,” kata Ahok,Minggu (15/6/2025).
Dalam pemeriksaan, Ahok mengurai dengan rinci bagaimana proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2015 dilakukan. Ia menjelaskan pentingnya e-budgeting — sistem yang ia dorong agar setiap rupiah anggaran bisa diawasi dan dipertanggungjawabkan.
Namun, upaya itu bukan tanpa hambatan. Ahok mengingatkan kembali bagaimana kala itu eksekutif dan legislatif di Jakarta kerap bersitegang soal alokasi anggaran. Ketidaksepakatan itu bahkan membuat Pemprov DKI terpaksa mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2015 agar program pembangunan tetap berjalan.
“Saya hadir untuk memperjelas prosedur. Detail teknis pengadaan tanah bukan ranah saya sebagai gubernur, itu tanggung jawab SKPD,” tegas Ahok.
Pernyataan Ahok diperkuat Wakil Kepala Kortastipidkor Polri, Brigadir Jenderal Arief Adiharsa. Menurut dia, Ahok menjelaskan mekanisme APBD dan sistem pengendalian internal yang kala itu diterapkan.
“Saksi menjelaskan soal e-budgeting dan perbedaan pandangan dengan DPRD. Untuk teknis pengadaan tanah, itu ranah SKPD,” ujar Arief.
Kasus dugaan korupsi tanah Cengkareng ini sendiri bukan perkara baru. Sudah sembilan tahun penyidikan dilakukan sejak laporan polisi terbit pada 2016. Polri mencatat potensi kerugian negara yang tidak sedikit — mencapai Rp 649 miliar. Dua tersangka telah ditetapkan, dan kini penyidik menemukan dua alat bukti baru terkait dugaan korupsi dan pencucian uang.
“Penyidik berkomitmen menuntaskan kasus ini dengan transparansi dan akuntabilitas. Setiap tahap penyidikan dikawal agar penegakan hukum tetap bersih,” kata Kepala Kortastipidkor Polri, Inspektur Jenderal Cahyono Wibowo.
Kehadiran Ahok dalam perkara ini seolah menjadi pengingat bahwa integritas tidak lekang oleh waktu atau jabatan. Ia tidak hanya menunaikan kewajibannya sebagai warga negara, tetapi juga memperkuat pesan penting: tata kelola yang bersih hanya lahir dari keberanian bersikap, bahkan ketika panggung kekuasaan telah ditinggalkan.
Ahok, yang dulu memimpin Jakarta dengan sederet kebijakan transparansi dan akuntabilitas, kini kembali menjadi bagian dari ikhtiar membersihkan birokrasi. Tidak sebagai pemimpin, tetapi sebagai warga negara yang konsisten mengawal uang rakyat agar tak terus menjadi santapan para mafia anggaran. (Ls*/)