Sabtu, 10 Mei 2025

Aksi Tolak Kudeta Terus Terjadi, Rakyat Myanmar Bersiap Hadapi Aparat Militer

YANGON — Meski sebelumnya mengalami tindakan kekerasan dari aparat militer, aksi unjuk rasa di Myanmar terus terjadi pada Sabtu (1/5/2021). Hari Sabtu tepat tiga bulan dilakukannya aksi protes terhadap kudeta pemerintah oleh militer.

Walaupun dibayangi ketakutan, para pengunjuk rasa anti kudeta militer di jalanan ini terus meneriakkan tuntutannya untuk kembali diberlakukan demokrasi di negara tersebut.

“Tujuan kami, demokrasi, tujuan kami, serikat federal. Pemimpin yang ditangkap bebas,” teriak massa di salah satu dari dua aksi unjuk rasa di kota utama Yangon, dikutip dari Reuters.

Menurut laporan, unjuk rasa juga terjadi di kota Mandalay dan kota Dawei. Hingga saat ini tidak ada laporan kekerasan yang dilaporkan. Meski demikian, di beberapa daerah provinsi negara miskin tersebut terjadi gelombang serangan militer terhadap kelompok pemberontak etnis.

Sementara itu, media setempat melaporkan telah terjadi ledakan kecil di tempat berbeda termasuk Yangon pada Jumat malam dan Sabtu malam. Meski hingga saat ini masih belum ada laporan langsung tentang korban dan tidak ada klaim siapa yang tanggung jawab atas ledakan tersebut.

Utusan khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan kepada Dewan Keamanan pada hari Jumat (30/4/2021) bahwa dengan tidak adanya tanggapan kolektif internasional terhadap kudeta tersebut, kekerasan semakin memburuk dan jalannya negara berisiko terhenti.

“Administrasi umum negara dapat terhenti karena gerakan pro-demokrasi terus berlanjut meskipun penggunaan kekuatan mematikan, penangkapan sewenang-wenang, dan penyiksaan sebagai bagian dari represi militer,” kata Schraner Burgener, menurut para diplomat.

Baca Juga :  Dua Menteri Mundur, Perdana Menteri Malaysia Kian Terdesak

Dia mengatakan kepada para diplomat bahwa laporan tentang tindakan keras yang berkelanjutan berisiko merusak momentum untuk mengakhiri krisis menyusul pertemuan 10 anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada 25 April dengan pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Schraner Burgener, mengungkapkan keprihatinan tentang meningkatnya kekerasan, mengutip laporan serangan bom dan warga sipil, kebanyakan siswa dari daerah perkotaan, mendapatkan pelatihan senjata dari pemberontak etnis minoritas.

Hingga saat ini, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebanyak 759 pengunjuk rasa telah tewas dan 3.400 orang telah ditahan. Jumlah warga yang tewas akibat tindak kekerasan aparat militer diperkirakan jauh lebih banyak karena tidak terekspos.

Atas hal itu, Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali keprihatinan yang mendalam atas situasi tersebut dan dukungannya untuk transisi demokrasi Myanmar. Dewan telah mengeluarkan beberapa pernyataan sejak kudeta tetapi Rusia dan China tidak memberikan dukungan.

Di sisi lain, warga Myanmar mulai bertindak tegas dengan mempersiapkan perlawanan, yang memungkinkan kondisi negara semakin kacau. “Gerakan pro-demokrasi terus berlanjut meskipun (militer) telah menggunakan kekuatan mematikan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan,” kata Schraner Burgener. (Rtr/CP)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini