Kabarindo24jam.com | Jakarta –
Sejumlah wakil rakyat di DPR RI menyatakan dukungannya atas penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan empat provider penyedia layanan telekomunikasi terkait data dan penyadapan. Namun, kalangan legislator meminta mekanisme penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus disertai pengawasan yang ketat.
“Kerja sama itu, tentu saja harus dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Kejaksaan dan sekaligus menjaga privasi data warga negara,” ujar Anggota Komisi III DPR RI Martin Tumbelaka melalui keterangan tertulis, Minggu (29/6/2025).
Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI itu juga menekankan penyadapan harus dibatasi secara ketat, hanya untuk kasus-kasus pidana berat dan korupsi. Selain itu, dilakukan melalui proses perizinan yang jelas. “Penyadapan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang meski kita juga paham bahwa kejahatan saat ini sangat dinamis,” jelasnya.
Martin juga menekankan pentingnya akuntabilitas prosedural dalam pelaksanaan MoU tersebut. Kejagung, kata dia, harus menjabarkan prosedur penyadapan secara rinci, termasuk mekanisme pelaporan dan evaluasi. “Transparansi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik,” tambah Martin.
Martin mendorong adanya sinergi antara Kejagung dengan Komnas HAM dan Komisi Informasi. Hal ini untuk menjamin keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan hak sipil. Ia kemudian menyampaikan Komisi III DPR akan terus mengawasi implementasi MoU ini guna memastikan tidak terjadi penyimpangan.
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani walaupun penegakan hukum sangatlah penting, namun perlu diwaspadai potensi pelanggaran atas data pribadi yang bisa dilakukan oleh kejaksaan. “Penegakan hukum sangat penting, tapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional,” ujar Puan, Jumat (27/6/2025).
Puan menekankan pentingnya menjaga batas antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak warga negara. Menurut Puan, kerja sama yang berlandaskan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan ini tak boleh mengabaikan hak konstitusional warga negara Indonesia.
Puan menegaskan bahwa ia tidak ingin kemajuan teknologi dijadikan alat untuk mengawasi secara sewenang-wenang dan mengabaikan prinsip demokrasi. “DPR akan mengawal setiap bentuk integrasi teknologi dalam penegakan hukum agar selaras dengan etika konstitusi,” tutur Puan.
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) meneken nota kesepahaman dengan sejumlah penyedia layanan telekomunikasi pada Rabu, 25 Juni 2025. Nota itu berfokus pada pertukaran dan pemanfaatan data dan atau informasi—yang juga mencakup soal penyadapan informasi.
Kejaksaan mengklaim kerja sama ini dalam rangka mendukung penegakan hukum di Indonesia. Penandatangan nota kesepahaman tersebut dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Reda Manthovani dengan empat operator telekomunikasi yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk.
Reda mengatakan, kolaborasi ini penting bagi bidang intelijen dalam penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum. Kejaksaan menyatakan bahwa landasan hukum kerja sama ini diatur dalam Pasal 30B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Termaktub dalam Pasal 30B huruf e, salah-satu tugas kejaksaan adalah melaksanakan pengawasan multimedia.
“Business core intelijen kejaksaan berpusat pada pengumpulan data dan/atau informasi yang selanjutnya sebagai bahan untuk dianalisis, diolah, dan dipergunakan sesuai dengan kebutuhan organisasi,” ujar Reda di Jakarta pada 25 Juni 2025. (Cky/*)