Kabarindo24jam.com | Bogor Kota – Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor dari sektor pajak hotel dan restoran terus mengalami penyusutan atau penurunan tajam hingga medio 2025 ini. Penurunan ini pun ditengarai menjadi salah satu faktor utama defisit dalam dokumen Kebijakan Umum Anggaran – Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA‑PPAS) dan RAPBD Perubahan 2025 Kota Bogor.
Sekretaris Daerah Kota Bogor, Denny Mulyadi, mengungkapkan bahwa dinamika fiskal yang terjadi dipicu oleh terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Diketahui, Inpres tersebut mengatur pembatasan belanja perjalanan dinas dan paket meeting oleh instansi pemerintah, sehingga berdampak pada tingkat kunjungan hotel atau okupansi.
“Sebelum ada Inpres tersebut, okupansi hotel di Kota Bogor sangat tinggi karena banyak kegiatan dari pemerintah pusat. Tapi sekarang ini sangat berkurang. Bahkan, jika dicermati potensi pendapatan pajak yang hilang bisa mencapai Rp60 miliar,” ungkap Denny dalam keterangannya dikutip, Kamis (3/7/2025).
Akibatnya, pendapatan dari pajak hotel dan restoran anjlok drastis. PAD Kota Bogor yang biasanya diandalkan dari sektor tersebut ikut menyusut, dan menjadi salah satu penyebab defisit dalam struktur RAPBD Perubahan 2025 yang kini mencapai Rp260 miliar.
Meski demikian, Sekda Denny tetap optimistis. Upaya penyeimbangan anggaran akan dilakukan melalui dua strategi: optimalisasi pendapatan daerah dan efisiensi belanja. “Kami sedang negosiasi dengan pelaku usaha seperti PHRI. Di sisi lain, belanja-belanja yang masih bisa ditunda akan dievaluasi,” ucap dia.
Pemkot Bogor pun menargetkan pembahasan RAPBD Perubahan bersama DPRD bisa rampung dan mencapai kondisi seimbang. Proses itu disebut paling lambat selesai pada Agustus 2025. “Kami pastikan program prioritas tetap berjalan, namun tetap dalam kerangka anggaran yang rasional,” imbuh Denny.
Sebelumnya beberapa waktu lalu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bogor, Yuno Abeta Lahay, mengakui bahwa kebijakan efisiensi anggaran pemerintah dipastikan bakal mengancam dan berdampak signifikan terhadap industri perhotelan dan restoran.
Menurutnya, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang membatasi anggaran perjalanan dinas dan rapat di hotel serta restoran tentu menyebabkan penurunan pemesanan. Meski saat itu masih terbantu oleh libur sekolah dan nasional, kondisi Januari-Februari dinilai lebih mengkhawatirkan.
Yuno menyebutkan bahwa PHRI sudah berupaya berkomunikasi dengan pemerintah agar kebijakan efisiensi difokuskan pada sektor lain, seperti perjalanan luar negeri atau pengadaan mobil dinas. Dirinya menimbang, bahwa kebijakan ini berdampak luas karena sektor hotel dan restoran memiliki rantai ekonomi yang melibatkan banyak UMKM dan pemasok.
Dari informasi yang dihimpun, dalam beberapa bulan terakhir ini, dua hotel di Kota Bogor telah tutup, dan dua lagi diperkirakan bakal mengalami nasib serupa. Dua hotel yang menutup operasionalnya adalah Hotel Sahira Paledang dan Sahira Ciheuleut.
Penutupan dilakukan pada akhir Maret lalu yang merupakan dampak terus merosotnya hunian.
“Jadi kita menutup operasional dua unit hotel, Paledang dan Pakuan pada akhir bulan lalu. Memang untuk penutupan sudah dipikirkan secara matang, coba cari solusi tapi tidak berjalan karena dampak efisiensi,” ungkap Humas Hotel Sahira Citra Wulandari Yunisha belum lama ini.
Wulan mengakui bisnis hotel yang dikelolanya memang menyasar pada pasar MICE dengan okupansi 70% di antarnya mengandalkan rapat-rapat pemerintah. “Untuk hotel kita segmentasi marketnya kan MICE. Salah satunya government, karena mendominasi sampai 70% okupansi,” pungkasnya. (Man)