Kabarindo24jam.com | Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan telah melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana kasus kuota haji, termasuk ke Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU). Tetapi, KPK menegaskan penelusuran tersebut bukan untuk mendiskreditkan PBNU, namun sebatas menjalankan kewajiban.
Terkait hal itu, A’wan PBNU KH Abdul Muhaimin mendesak KPK segera menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023–2024 supaya tidak ada kesan KPK memainkan tempo yang membuat resah internal NU, khususnya warga.
Dikutip dari keterangannya di Jakarta, Minggu (14/9/2025), Abdul mengatakan dugaan pelaku korupsi haji adalah oknum-oknum PBNU yang menyalahgunakan dan memanfaatkan kebesaran NU untuk kepentingan pribadi atau kelompok. “Bila tidak segera diumumkan tersangka, dikesankan KPK sengaja merusak reputasi NU secara kelembagaan,” katanya.
Meski demikian, dia mengatakan para kiai NU tetap mendukung KPK untuk mengusut secara tuntas perkara tersebut. KPK pun diminta menelusuri aliran dana kalau memang melibatkan petinggi PBNU. “Itu tugas KPK, kami mendukung dan patuhi penegakan hukum,” ujar Abdul.
Diketahui, KPK telah memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024, yakni pada 9 Agustus 2025. Pengumuman dilakukan setelah penyidik KPK meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025.
Kemudian pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih. Selanjutnya, KPK umumkan pencegahan tiga orang untuk bepergian ke luar negeri. Salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan pihaknya telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024. Poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.
Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus. Konon, pembagian itu untuk efektifitas dalam serapan kuota tambahan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler. (Cky/*)