Selasa, 21 Oktober 2025

Israel Membombardir Lebanon Pasca Gencatan Senjata

Kabarindo24jam.com | Libanon – Setelah gencatan senjata yang rapuh terjadi di Gaza bulan ini, Israel kembali melancarkan serangan udara ke Lebanon selatan – usai 11 bulan setelah gencatan senjata dengan Libanon.

Pengeboman terhadap bisnis peralatan konstruksi menewaskan seorang pejalan kaki Suriah, melukai tujuh orang termasuk dua wanita, dan menghancurkan buldoser dan ekskavator senilai jutaan dolar, setelah setahun gencatan senjata yang ditengahi AS menghentikan konflik terbaru antara Israel dan Hizbulah

Mona Yacoubian, direktur program Timur Tengah di lembaga pemikir Centre for Strategic and International Studies, menggambarkan skenario Lebanon sebagai “perang yang lebih tenang” daripada gencatan senjata.

Konflik Israel-Hizbullah mulai terjadi sehari setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang di Gaza. Hizbullah, yang sebagian besar berbasis di Lebanon selatan, mengawali dengan menembakkan roket ke Israel untuk mendukung Hamas dan Palestina.

Israel merespons dengan serangan udara dan penembakan. Konflik skala kecil ini meningkat menjadi perang skala penuh pada September 2024.

Gencatan senjata pada 27 November 2024 mewajibkan Lebanon agar menghentikan kelompok bersenjata menyerang Israel, dan Israel menghentikan aksi militer “ofensif” di Lebanon. Gencatan senjata tersebut menyatakan bahwa Israel dan Lebanon dapat bertindak untuk “membela diri,” tanpa memberikan bali kekuatan mereka. Para pejabat Lebanon mengatakan serangan-serangan tersebut menghalangi upaya Israel untuk melucuti senjata Hizbullah dengan memberi kelompok itu dalih untuk mempertahankan senjatanya.

Lebanon juga mengatakan serangan Israel, termasuk yang terjadi pada 11 Oktober, sering kali merugikan warga sipil dan menghancurkan infrastruktur yang tidak terkait dengan Hizbullah.

Kementerian Kesehatan Lebanon telah melaporkan lebih dari 270 orang tewas dan sekitar 850 orang terluka akibat aksi militer Israel sejak gencatan senjata. Hingga 9 Oktober, kantor hak asasi manusia PBB telah memverifikasi bahwa 107 dari mereka yang tewas adalah warga sipil atau non-kombatan, kata juru bicara Thameen Al-Kheetan.

Setelah serangan 11 Oktober di Msayleh, tentara Israel mengatakan serangan tersebut mengenai “peralatan teknik yang ditujukan untuk rekonstruksi infrastruktur teroris di Lebanon Selatan.

Presiden Lebanon Joseph Aoun menyebut serangan itu sebagai “agresi terang-terangan terhadap fasilitas sipil.” Ketua Parlemen Nabih Berri menuduh Israel berusaha menghalangi pembangunan kembali masyarakat. Lebanon mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan PBB.

Militer Israel mengatakan pihaknya menargetkan seorang pejuang Hizbullah, yang tidak disebutkan namanya, tetapi mengakui bahwa adanya warga sipil yang terbunuh.

Awal bulan ini, serangan pesawat tak berawak Israel menewaskan seorang anggota Hizbullah yang mengalami kebutaan tahun lalu akibat serangan pager Israel, bersama istrinya. Militer Israel mengatakan Hassan Atwi adalah pejabat kunci di Unit Pertahanan Udara Hizbullah. Para pejabat Hizbullah mengatakan ia tidak lagi memainkan peran militer sejak kehilangan penglihatannya.

Hizbullah dibentuk pada tahun 1982, dengan dukungan Iran, untuk melawan pendudukan Israel di Lebanon selatan pada saat itu. Pasukan Israel mundur pada tahun 2000, dan Hizbullah berkembang menjadi salah satu kelompok bersenjata non-negara paling kuat di kawasan tersebut.

Pada tahun 2006, Hizbullah dan Israel terlibat perang selama sebulan yang berakhir seri. Selama 17 tahun berikutnya, “terdapat ketenangan yang menegangkan … yang sebagian besar disebabkan oleh pencegahan bersama,” kata Nicholas Blanford, seorang peneliti senior di program Timur Tengah di Atlantic Council.

Serangan di Lebanon pada umumnya dianggap terlarang. Kedua belah pihak ingin menghindari perang yang merugikan lainnya. Kini, persamaan itu telah berubah.

Meskipun Blanford mengatakan Hizbullah masih bisa melancarkan serangan ke Israel, “daya tangkal kelompok itu telah hancur akibat perang baru-baru ini,” katanya

Namun kelompok tersebut sebagian besar membatasi diri dengan menyerukan pemerintah Lebanon untuk menekan Israel dengan apa yang disebut Fneish sebagai “kemampuan politik, diplomatik, atau kemampuan lainnya.”

Yacoubian, analis tersebut, mengatakan bahwa ia tidak melihat situasi di Libanon akan berubah dalam waktu dekat, “kecuali ada terobosan dalam negoisasi dibalik layar yang ditengahi oleh AS”. (Ls/*)

 

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini