Kabarindo24jam.com | Jakarta – Plt. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Aminudin menyatakan bahwa pihaknya melakukan kajian mendalam terkait rangkap jabatan di lembaga publik. Hal ini dilakukan untuk menegaskan komitmen KPK dalam menutup celah konflik kepentingan.
Aminudin menyebut rata-rata kasus korupsi berawal dari benturan kepentingan sehingga kajian ini sangat penting untuk mencegah risiko tersebut. “Kami berharap kajian ini menjadi landasan reformasi tata kelola publik yang lebih kuat,” kata Aminudin dalam keterangan tertulis dikutip, Jumat (19/9/2025).
Langkah KPK ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang melarang wakil menteri merangkap jabatan sebagai pejabat negara lain, komisaris BUMN/swasta, atau pimpinan organisasi yang didanai APBN/APBD.
Dia mengatakan, putusan MK tersebut semakin mempertegas urgensi pembenahan sehingga praktik rangkap jabatan tidak lagi menjadi celah konflik kepentingan. Selain itu, pejabat publik dapat fokus memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Aminudin menyebut, kajian ‘Rangkap Jabatan Terhadap Integritas dan Tata Kelola Lembaga Publik di Indonesia’ yang diinisiasi oleh KPK telah dilakukan sejak Juni-Desember 2025 dan akan dilanjutkan pada tahun 2026 dengan fokus di 10 lembaga publik melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Dalam kajian ini, kata Aminudin, KPK berkolaborasi dengan Kementerian dan lembaga termasuk Kementerian PANRB, Ombudsman RI, Kementerian BUMN, Lembaga Administrasi Negara (LAN), serta para akademisi.
Dia menyebut, kajian ini akan mengidentifikasi praktik rangkap jabatan, faktor penyebabnya, mulai dari kebijakan, keterbatasan SDM, hingga beban kerja dan kompensasi, serta efektivitas mekanisme pengawasan. “Hasil penelitian diharapkan menghasilkan rekomendasi valid dan presisi guna mendorong perbaikan sistem, etika, dan profesionalitas,” ujarnya.
Kajian ini juga melibatkan pemangku kepentingan pada lingkup eksekutif yaitu ASN, TNI, dan Polri serta kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian di tingkat pusat. Mereka juga melibatkan narasumber seperti ahli serta praktisi terkait.
Seperti pakar etika pemerintahan dan integritas publik; pakar antikorupsi dan kelembagaan pengawas; serta akademisi dan peneliti kebijakan publik. “Melalui kajian ini, KPK tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyusun rekomendasi kebijakan,” tuturnya.
Beberapa usulan yang dikemukakan antara lain mendorong lahirnya Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah yang secara jelas mengatur definisi, ruang lingkup, daftar larangan jabatan, dan sanksi terkait konflik kepentingan dan rangkap jabatan.
Kemudian sinkronisasi regulasi dan harmonisasi dengan UU BUMN, UU Pelayanan Publik, UU ASN, UU Administrasi Pemerintahan serta aturan lain yang terkait; mengusulkan reformasi remunerasi pejabat publik melalui sistem gaji tunggal (single salary) yang menghapuskan peluang penghasilan ganda akibat rangkap jabatan.
Selanjutnya, pembentukan Komite Remunerasi Independen di BUMN atau lembaga publik untuk menjaga transparansi dan perbaikan skema pensiun; dan penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) investigasi konflik kepentingan sesuai standar Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk dijalankan secara konsisten oleh Inspektorat maupun Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN.
“Data yang dikumpulkan KPK bersama Ombudsman pada tahun 2020 menunjukkan bahwa dari 397 komisaris BUMN dan 167 komisaris anak perusahaan yang terindikasi merangkap jabatan, hampir setengahnya 49 persen tidak sesuai dengan kompetensi teknis,” pungkasnya. (Cky/*)