Kabarindo24jam.com | Cisarua – Menteri Lingkungan Hidup (Men LH) sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan keterkejutannya erhadap lahan kehutanan seluas 225 hektar di Kampung Sukatani Desa Tugu Utara Kecamatan Cisarua – Kabupaten Bogor, yang telah berubah fungsi menjadi glamping, sarana ibadah, lembaga pendidikan dan sarana keagamaan.
Kekagetan sang Menteri terungkap saat meninjau tanah longsor di Kampung Sukatani RT 06 RW 04 Desa Tugu Utara, Senin (7/7/2025). Karena itu, Hanif Faisol menyebutkan penerbitan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) akan ditinjau ulang seiring banyaknya kejadian bencana di kawasan Puncak.
Ia menambahkan, bahwa adanya korban meninggal akibat bencana banjir dan longsor di Puncak Bogor akan menjadi bahan penyelidikan oleh Kementerian LH. Melalui kajian perubahan dalam RTRW yang diterbitkan pada 2022 yang menurutnya jauh dari kajian strategis lingkungan hidup pada 2010 lalu.
“Bahkan dalam catatan Kementrian LH, di Jawa Barat kehilangan 1,2 juta hektar lahan konservasi,” kata Hanif Faisol seraya menyatakan dirinya bakal memidanakan para pelanggar tata ruang, terutama mereka yang melakukan pelanggaran fungsi lahan.
Camat Cisarua Hery Risnandar, menambahkan ada sejarah panjang pelepasan lahan eks PT SSBP yang kini berubah menjadi fasos, fasum dan pemukiman warga. “Pada 1983 ada pelepasan areal dari perusahaan perkebunan teh yang kini menjadi areal dimaksud yang secara fungsinya seharusnya menjadi kawasan konservasi,” tandasnya.
Selain meninjau lokasi longsor di Kampung Sukatani, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Menteri Hanif juga mengunjungi lokasi bencana di Kampung Rawasedek, Kecamatan Megamendung. Hanif pun menegaskan bahwa bencana tersebut bukan semata-mata peristiwa alam, tetapi merupakan bentuk kejahatan lingkungan yang dipicu oleh pelanggaran pembangunan.
“Ini bukan bencana biasa, ini kejahatan lingkungan. Harusnya bangunan seperti ini tidak diizinkan, ini jelas-jelas melanggar,” tegas Hanif seraya menyebut pemilik vila yang diduga membangun secara ilegal akan dijerat dengan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adapun ancaman hukuman penjara 3 hingga 10 tahun dan denda Rp3 hingga Rp10 miliar. “Sudah ada korban jiwa. Tidak ada ampun. Ini akan kami proses hukum secepatnya,” ujarnya seraya mengakui bahwa proses hukum membutuhkan waktu karena harus menunggu hasil laboratorium dan kajian ahli.
Namun, sebagai langkah awal, Hanif telah memerintahkan Camat dan Lurah setempat untuk menyegel lokasi dan menghentikan seluruh aktivitas bangunan. Selain menyoroti pelanggaran pembangunan, Hanif juga menyinggung akar persoalan yang lebih besar, yakni perubahan tata ruang wilayah Jawa Barat yang dinilainya sembrono dan menjadi pemicu berulangnya bencana.
“Dua-tiga bulan lalu kami sudah menyurati Gubernur Jawa Barat agar segera merevisi tata ruang. Ini bukan main-main. Tahun 2010, Jawa Barat masih punya 1,6 juta hektare kawasan lindung. Sekarang, tahun 2022, 1,2 juta hektare-nya berubah jadi non-lindung. Korbannya sudah banyak,” tegasnya.
Ia menambahkan, sejak perubahan tata ruang tersebut, korban jiwa terus berjatuhan di wilayah yang seharusnya dilindungi, mulai dari Sukabumi hingga Bogor. Ia pun berjanji akan menyelidiki latar belakang perubahan tata ruang tersebut. “Kami akan selidiki apakah ini murni keteledoran atau ada kepentingan bisnis. Kalau ada pelanggaran, semua yang terlibat akan kami usut, termasuk yang di Pemprov Jabar,” katanya.
Ia juga mengkritik lambannya pencabutan izin lingkungan di kawasan Puncak. Dari sembilan izin yang diminta untuk dicabut, baru tiga yang direalisasikan. “Saya beri waktu satu minggu. Kalau tidak ada tindakan, KLH yang akan turun langsung untuk pembongkaran,” tegasnya.
Ia memastikan tidak akan memberi ruang kompromi bagi pelanggaran hukum lingkungan. Semua vila yang melanggar aturan akan diperiksa dan diproses, termasuk disegel dan dibongkar jika diperlukan. “7.500 hektare kawasan Puncak ini harus direhabilitasi. Sudah terlalu rusak, terlalu banyak korban. Tidak ada negosiasi, saya tekan semua pihak untuk taat hukum lingkungan. Ini perintah,” tandasnya. (Dul/*)