Kamis, 13 November 2025

Pemerintah Kembali Godok Rencana Redenominasi Rupiah, Ini Dampaknya

Kabarindo24jam.com | Jakarta – Pemerintah kembali menghidupkan rencana penyederhanaan nilai rupiah atau redenominasi, setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.

Dalam beleid tersebut, Purbaya menugaskan Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah pada 2026, dengan target penyelesaian pada 2027.

“RUU Redenominasi merupakan RUU luncuran yang ditargetkan rampung 2027,” tulis PMK 70/2025 yang dikutip Jumat (7/11/2025).

Redenominasi sendiri berarti penyederhanaan nominal uang tanpa mengubah nilai riilnya terhadap barang atau jasa. Misalnya, nilai Rp1.000 akan disederhanakan menjadi Rp1, namun daya belinya tetap sama.

Rencana ini sejatinya sudah pernah digagas Bank Indonesia sejak 2010, bahkan sempat diusulkan menjadi bagian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013 oleh Menkeu saat itu, Agus Martowardojo.

Dalam kajian Indonesia Treasury Review 2017, redenominasi disebut membawa banyak manfaat: mempermudah transaksi dan pembukuan, mengurangi risiko kesalahan input data, memperkuat efektivitas kebijakan moneter, serta menekan biaya cetak uang karena variasi nominal lebih sedikit.

“Redenominasi Rupiah dapat memberi manfaat besar jika dilakukan secara sistematis dan terukur,” tulis laporan tersebut.

Ekonom senior Raden Pardede menilai, redenominasi bisa memengaruhi psikologi pasar karena membuat nominal rupiah tampak lebih kuat terhadap dolar AS.
“Secara psikologi membuat kita lebih yakin. Kalau kursnya bukan Rp15.000 tapi Rp15, kesannya mata uang kita tidak jauh dari dolar,” ujar Raden dalam program Central Banking CNBC Indonesia (2023).

Namun, ia menegaskan bahwa redenominasi tidak serta-merta memperkuat kurs rupiah, karena nilai tukar bergantung pada faktor fundamental seperti inflasi, neraca pembayaran, dan arus modal asing.

“Keuntungannya hanya dari sisi persepsi, tidak lebih dari itu,” tegas Raden.

Ia juga mencontohkan negara seperti Jepang dan Korea Selatan yang belum menerapkan redenominasi meski kurs mereka tinggi. “Bagi mereka, penguatan nilai tukar lebih penting daripada sekadar mengubah nominal,” ujarnya.

Menurutnya, redenominasi umumnya diterapkan di negara yang mengalami hiperinflasi atau konflik, seperti Zimbabwe, Turki, dan Brasil. Karena itu, ia menilai langkah Indonesia saat ini lebih pada kepentingan administrasi dan efisiensi pelaporan keuangan, bukan kondisi darurat ekonomi.

Senada, Gubernur BI Perry Warjiyo juga menyebut redenominasi membawa manfaat efisiensi ekonomi.
“Dengan pengurangan tiga nol, transaksi akan lebih cepat dan penggunaan teknologi keuangan menjadi lebih efektif,” kata Perry.

Ia menambahkan, penyederhanaan nominal akan membantu mempercepat proses transaksi dan meningkatkan efisiensi sistem pembayaran nasional. (Man*/)

redaksi
redaksihttps://kabarindo24jam.com
Redaksi media Kabarindo24jam.com

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini