Kabarindo24jam.com | Jakarta – Kasus hukum yang menjerat Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, seharusnya menjadi perkara sederhana: sudah ada putusan pengadilan yang inkrah pada 2019 dengan vonis 1,5 tahun penjara. Namun, enam tahun berlalu, Silfester masih bebas berkeliaran tanpa pernah merasakan dinginnya jeruji besi. Pertanyaan besar pun mencuat: mengapa Kejaksaan Agung seolah kehilangan taring ketika berhadapan dengan tokoh yang jelas-jelas telah diputus bersalah oleh pengadilan? Bukankah hukum mestinya berlaku sama bagi semua orang?
Ironisnya, Silfester bukanlah sosok tanpa kontroversi. Orasinya pada 15 Mei 2017 yang menuding Jusuf Kalla sebagai “akar permasalahan bangsa” jelas menyalakan api polemik. Ia menuduh mantan Wakil Presiden itu memainkan isu rasis demi kepentingan politik Pilkada DKI Jakarta dan menudingnya hanya mementingkan ambisi pribadi serta memperkaya keluarga. Ucapan keras itu bukan hanya menyerang figur politik, tapi juga merusak tatanan etika publik, hingga akhirnya dilaporkan oleh JK melalui kuasa hukumnya. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah bukan orasi Silfester semata, melainkan bagaimana negara gagal mengeksekusi vonis hukum yang sudah final.
Persoalan ini sampai disentil langsung oleh Mahfud MD. Dalam sebuah pernyataannya, dikutip dari tayangan YouTube Mahfud MD Official dengan judul “Mahfud MD Soal Demo, Sikap Pemerintah dan Lemahnya Penegakan Hukum”, Selasa (2/9/2025), mantan Menko Polhukam itu terang-terangan menyebut kasus Silfester sebagai contoh nyata lemahnya penegakan hukum di Indonesia. “Itu masalah sederhana. Inkrah 1,5 tahun, lalu lalang di depan hidung kita, enggak ada yang berani nangkap,” tegas Mahfud. Pernyataan itu bukan sekadar kritik, melainkan tamparan keras bagi wajah aparat hukum yang terlihat gamang, atau bahkan “bermain mata” dengan kepentingan tertentu.
Kalau seorang Mahfud saja sampai menduga ada kompromi yang melatarbelakangi mandeknya penahanan ini, apa lagi yang bisa diharapkan publik? Situasi ini jelas mengikis kepercayaan masyarakat pada hukum. Bagaimana mungkin rakyat kecil yang mencuri ayam langsung dipenjara, sementara seorang elit politik yang divonis pengadilan justru bisa hidup bebas tanpa tersentuh aparat? Ketidakadilan seperti inilah yang membuat api kemarahan rakyat terus menyala dalam berbagai aksi jalanan.
Kasus Silfester Matutina adalah cermin buram penegakan hukum Indonesia: lamban, penuh drama, dan sarat kompromi. Kejaksaan Agung tak bisa lagi bersembunyi di balik alasan teknis atau prosedural. Semakin lama eksekusi putusan ini ditunda, semakin telanjang pula wajah hukum kita di mata publik: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika negara benar-benar ingin mengembalikan marwah hukum, tidak ada jalan lain selain segera menangkap dan memenjarakan Silfester sesuai vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap. Hukum yang tebang pilih bukan hanya memalukan, tetapi juga berbahaya bagi masa depan demokrasi. (Ls*/)