Kabarindo24jam | Jakarta – Rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon pada Rabu (2/7/2025), menjadi gaduh lantaran puluhan aktivis yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menggeruduk ruangan rapat tersebut. Dalam aksinya, mereka lantang meminta Fadli Zon menghentikan proyek penulisan ulang sejarah yang tengah dikerjakan Kemenbud.
Momen itu bermula saat Fadli Zon akan menjawab pertanyaan dari para anggota Komisi X DPR RI. Sejumlah aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil yang sejak awal duduk di balkon ruang rapat Komisi X DPR tiba-tiba membentangkan spanduk dan poster di pagar balkon.
“Hentikan pemutihan sejarah,” ujar salah satu anggota koalisi. “Dengarkan suara korban,” timpal seorang aktivis lainnya. Selain itu, para pejuang sosial, kemanusian dan hukum itu, menolak rencana pemberian gelar pahlawan kepada mendiang Presiden ke-2 RI Soeharto yang lengser setelah meletusnya kerusuhan massal di Jakarta pada 1998 silam.
Mendengar adanya seruan massa aktivis tersebut, Fadli Zon tampak terkejut. Sedangkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian lantaran merasa rishi kemudian meminta Koalisi Masyarakat Sipil untuk menghentikan aksi mereka. “Saya rasa cukup ya, cukup. Tolong kembali ke tempat masing-masing,” ujar Lalu.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil tidak mengindahkan permintaan Lalu tersebut. Mereka tetap menyuarakan tuntutannya. “Lawan sisa-sisa Orde Baru!” seru anggota koalisi. Dijawab oleh Lalu, “Ya silakan kembali ke tempat masing-masing. Pamdal tolong diamankan”.
Dalam rapat tersebut, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends mencecar Fadli Zon terkait pernyataan tak ada pemerkosaan massal 1998. Mercy mengaku telah membawa sejumlah dokumen resmi terkait fakta adanya kasus pemerkosaan massal 1998. Mercy mengatakan pernyataan Fadli Zon tersebut telah melukai hati rakyat Indonesia.
“Hari ini saya datang resmi dengan membawa tiga dokumen resmi. Dokumen hasil temuan TGPF, dokumen hasil temuan dari special report PBB, dan dokumen yang ketiga yaitu dokumen membuka kembali 10 tahun pascakonflik yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan,” ujar Mercy.
Mercy mengatakan, saat kerusuhan 1998, dirinya merupakan saksi sejarah. Terutama, pada saat kerusuhan Maluku 1999-2001, dirinya termasuk dalam Tim Pencari Fakta Komnas Perempuan. “Saat kerusuhan Maluku 1999-2001, saya masuk Tim Pencari Fakta Komnas Perempuan, dan mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan seksual perempuan selama masa konflik,” ujarnya.
“Kita bertemu yang dari Papua, dari Aceh, dan sebagainya. Tidak satu pun korban berani menyampaikan kasus kekerasannya karena pada saat itu mengalami represi yang sangat luar biasa. Hal yang sama juga terjadi pada saat kerusuhan ’98,” sambungnya.
Mercy menjelaskan mereka berproses bersamaan hingga menghasilkan dokumen yang dia bawa. Mercy mengatakan juga menyusun human rights documentation (huridoc) bersama Komnas Perempuan saat itu. “Jadi, kalau kemudian Bapak mempertanyakan kasus perkosaan dan massal dan seterusnya, ini cukup-cukup amat sangat melukai kami Pak,” tegasnya.
Mercy pun meminta Fadil Zon menyampaikan permintaan maaf. Dia juga meminta Fadli Zon meminta langsung data kerusuhan 1998 kepada Komnas Perempuan. “Kami sangat berharap permintaan maaf. Mau korbannya perorangan yang jumlahnya banyak, yang Bapak tidak akui itu massal, permintaan maaf. Karena korban benar-benar terjadi,” ungkap dia.
Selain itu, dia meminta agar penulisan ulang sejarah Indonesia dihentikan. Menurutnya, sejarah memiliki caranya sendiri untuk bercerita. “Maka izinkan saya menyampaikan dokumen ini secara resmi kepada Pak Menteri. Dan kami berharap agar kalau bisa penulisan sejarah ini dia memiliki dialektika. Dia akan bercerita dengan caranya tersendiri,” jelasnya.
Terpisah, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Jane, mengatakan kedatangan mereka untuk memprotes dan meminta agar proyek penulisan ulang sejarah dihentikan. Dia mengaku sangat mengecam pernyataan Fadli Zon yang menyebut tak adanya pemerkosaan massal 1998.
“Kami hari ini melakukan sebuah interupsi berupa aksi simbolik untuk memprotes adanya penghentian pemutihan sejarah dan juga mengecam adanya pernyataan Fadli Zon yang mengatakan bahwa pemeriksaan masal adalah rumor dan peristiwa 1998 itu tidak ada buktinya,” ujarnya. (Cky/*)