Senin, 4 Agustus 2025

Tarling: Suara Hati dari Tanah Pantura

Kabarindo24jam.com | Cirebon – Saya jadi ingat petikan lagu lawas: “Ati ne roso, tresno marang sliramu…” Tapi bukan itu yang hendak saya tulis hari ini. Yang ingin saya tulis justru soal musik. Musik yang lahir bukan dari istana, bukan dari studio, tapi dari tanah gersang, dari peluh para nelayan, dan dari denting gitar yang dimainkan sambil duduk di tikar pandan. Namanya: Tarling.

Tarling itu unik. Ia bukan hanya musik, bukan sekadar hiburan. Ia adalah kesaksian sejarah. Tarling itu seperti rakyat yang bisa bicara lewat petikan gitar dan lengking suara. Bukan lewat podium.

Tarling lahir dari rahim rakyat Cirebon, Indramayu, hingga Majalengka. Bukan dari dewan kesenian, apalagi dari menteri. Ia tumbuh dari tanah yang retak-retak, dari mulut anak muda yang tak sekolah tinggi tapi puitisnya minta ampun. Dulu, sebelum menjadi “tarling”, orang menyebutnya “gitaran”. Hanya gitar dan nyanyian. Kadang mengalun syahdu, kadang menyayat luka hati.

Lalu datanglah harmonika. Maka namanya jadi “Gitaran-Harmonika”. Tapi itu terlalu panjang. Dan rakyat itu kreatif. Mereka memendekkannya menjadi Tarling: Gitar dan Suling.

Tapi tahukah Anda? Suling di sini bukan suling bambu, melainkan suara nyanyian yang melengking, meliuk-liuk seperti suling. Improvisasi. Liar. Bebas. Tapi tetap indah.

Tarling pertama-tama bukanlah panggung besar. Ia hadir di pengajian, pernikahan, dan sunatan. Musik rakyat yang murah, meriah, dan membumi. Lirik-liriknya? Jangan kira remeh. Banyak mengandung kritik sosial. Tentang suami yang meninggalkan istri. Tentang perempuan yang dikhianati. Tentang anak muda yang mencari keadilan. Bahkan soal korupsi dan pejabat.

Saya membayangkan bagaimana dulu para seniman tarling menulis lirik. Tak ada komputer. Tak ada DAW digital. Apalagi bantuan Ai. Hanya kertas buram, pensil tumpul, dan kenangan patah hati juga cerita teman sendiri yang jadi inspiras. Tapi justru dari situlah muncul kejujuran yang datang dari imajinasi. Tarling tidak pernah menggurui. Ia hanya mengadukan isi hati.

Tahun 1960-an, tarling mulai naik kelas. Masuk radio, masuk kaset pita, bahkan masuk televisi lokal. Bukan karena dimodali pemerintah, tapi karena rakyat suka. Rakyat merasa, “Ini suara kami.” Dan ketika seni menyuarakan rakyat, ia akan hidup lebih lama daripada sekadar proyek.

Lalu datang tarling modifikasi. Ada organ tunggal. Ada ketukan dangdut. Ada pop Cirebonan. Ada yang mencibir: “Itu bukan tarling asli!” Tapi bukankah seni memang selalu berkembang?

Saya tidak sedang mengajak Anda nostalgia. Saya hanya ingin Anda tahu, bahwa negeri ini punya warisan-warisan yang lahir dari tanah, bukan dari langit. Warisan yang bicara dengan jujur. Warisan yang kadang lebih tajam dari pidato politik.

Tarling memang mungkin tidak masuk kurikulum sekolah. Tapi ia masuk hati orang-orang pesisir. Dan selama mereka masih punya hati, tarling akan terus hidup—meski pelan, tapi pasti.

Dan siapa tahu, suatu saat nanti, anak Anda belajar sejarah bukan dari buku, tapi dari lagu tarling yang mengalun lirih di spotify,youtube dan platform musik digital lainnya yang sedikit banyak membantu melestarikan kesenian musik ini : Tarling. (Man*/)

 

redaksi
redaksihttps://kabarindo24jam.com
Redaksi media Kabarindo24jam.com

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini