Kabarindo24jam.com | Bogor – Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Bogor bersama tokoh agama menyepakati perpanjangan penetapan status keadaan konflik terkait pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) di RT 03 – RW 10, Jalan Kolonel Ahmad Syam, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara.
Perpanjangan status tersebut ditandai dengan pemasangan spanduk oleh Plt Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor Rahmat Hidayat bersama unsur wilayah serta Forkopimcam Bogor Utara pada akhir pekan lalu.
Rahmat menjelaskan, bahwa langkah ini merupakan tindak lanjut atas surat keputusan Wali Kota Bogor yang menetapkan pembatasan dan penutupan kawasan pembangunan MIAH. “Dengan surat keputusan wali kota maka dilakukan pembatasan dan penutupan kawasan,” tegas Rahmat.
“Selanjutnya, melarang setiap orang untuk memasuki kawasan pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal untuk menunggu hasil kesepakatan mediasi dari Tim Badan Mediator Nasional kedua belah pihak dan Ombudsman,” sambung Rahmat dalam keterangannya yang dikutip pada Rabu (17/9/2025).
Ia menambahkan, pemasangan spanduk menjadi bagian dari upaya pemerintah mengedepankan perdamaian melalui proses mediasi, sekaligus menjaga kondusivitas wilayah. Karenanya, masyarakat di lingkungan pembangunan MIAH juga diminta tetap menjaga ketertiban serta tidak melakukan aktivitas yang dapat memperkeruh suasana.
“Pemasangan spanduk perpanjangan penetapan status keadaan konflik yang sekarang tidak ada batas waktu, tetapi menunggu hasil kesepakatan mediasi dari Tim Badan Mediator Nasional kedua belah pihak dan Ombudsman, sampai ada kesepakatan dari kedua belah pihak,” ujarnya.
Sebelumnya, Tim Advokasi Peduli Kota Bogor (Tapak Bogor) menganggap Wali Kota Bogor Dedie A Rachim terkesan memelihara konflik demi kepentingan tertentu. Langkah Pemkot Bogor menetapkan kawasan pembangunan MIAH sebagai wilayah berstatus “keadaan konflik skala kota” dianggap sebagai solusi semu dan tidak menyelesaikan akar persoalan.
“Ditetapkannya status tersebut tentu saja merupakan kebijakan yang keliru dan justru berpotensi memelihara konflik di Kota Bogor,” tegas Zentoni dari Tapak Bogor dalam keterangan persnya yang dikutip, Rabu (30/7/2025) lalu.
Zentoni menyayangkan pendekatan Dedie yang dinilai tidak meniru langkah pendahulunya, Bima Arya. Mantan wali kota itu, menurut Zentoni, berhasil menyelesaikan sengketa GKI Yasmin dengan cara yang elegan melalui relokasi setelah proses hukum tuntas dan dimenangkan oleh warga.
“Persoalan MIAH seharusnya juga bisa diselesaikan dengan pendekatan yang benar, yaitu mencabut IMB atau Izin Mendirikan Bangunan MIAH lantaran tahapan dalam proses penerbitan izinnya terdapat kejanggalan. Bukan justru ditetapkan sebagai kawasan konflik,” ujarnya.
Lantaran kecurigaan adanya kejanggalan dalam proses penerbitan IMB MIAH itu, Tapak Bogor telah membawa sengketa MIAH ini ke ranah hukum dengan menggugat ke Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Barat. Mereka meminta aga Pemkot Bogor diwajibkan membuka seluruh dokumen perizinan dan rekomendasi dinas teknis dan lembaga terkait pembangunan MIAH.
Tapak Bogor menegaskan bahwa warga RT 03 juga termasuk di lingkungan RW 10 bukan hanya mempermasalahkan keberadaan Masjid Imam Ahmad bin Hambal, tetapi juga mempertanyakan bagaimana mungkin izin pembangunan bisa terbit sementara persyaratan dasar seperti surat persetujuan warga justru diduga kuat sarat pelanggaran prosedur.
Lebih jauh, warga merasa heran sekaligus geram karena akses mereka terhadap informasi terkait proses perizinan itu justru ditutup-tutupi oleh Pemerintah Kota Bogor, seolah ada yang sengaja disembunyikan. “Karena itu, kini kita tempuh jalur hukum sebagai wujud perlawanan konstitusional,” imbuh Gery Permana, salah satu anggota Tapak Bogor. (Man/Adul)