Kabarindo24jam.com | Cibinong – Diduga telah menjual Aset BLBI di Kabupaten Bogor, tiga perusahaan yakni PT BSS, PT HWP dan PT CSA serta oknum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), oknum Pejabat BPN Kabupaten Bogor, oknum Perbankan, diadukan ke Kejaksaan Agung RI oleh Himpunan Petani Peternak Milenial Indonesia (HPPMI) Kabupaten Bogor – Jawa Barat, baru-baru ini.
Menurut Ketua HPPMI Kabupaten Bogor Yusuf Bachtiar, PT. HWP diduga telah menjual tanah eks SHGB yang telah berakhir masa berlakunya dan menjadi tanah negara. Sementara, PT. BSS diduga telah menyalahgunakan hak atas tanah eks SHGU/SHGB, menjadikan tanah negara sebagai jaminan, aset kredit dan objek transaksi keuangan.
Sedangkan PT. CSA diduga menerima dan mengusai pengalihan tanah eks SHGB secara melawan hukum melalui perbankan. “PT. HWP dan PT. BSS berpotensi melanggar Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999, jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 64 KUHP, terindikasi kerugian negara, antara lain hilangnya aset negara berupa tanah eks HGU/HGB. Hilangnya potensi PAD, pajak dan pemnfaatan lahan untuk kepentingan publik,” ujar Yusuf.
“Tak hanya itu, terindikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) melalui transaksi pertanahan dan perbankan. Skema yang diduga terjadi, penguasaan lahan tanpa hak, lahan dijadikan objek perjanjian transaksi bisnis, jaminan kredit perbankan. Terdapat aliran dana ke pihak ketiga dan penerbitan dokumen administrasi baru,” kata Yusuf dalam siaran persnya yang dikutip pada Jumat (21/
Sementara Kuasa Hukum Yusuf, H. Amir Amiruloh dari Hukum AA & Rekan, Sentul, Bogor, menegaskan pentingnya penerapan UU TPPU adalah memungkinkan negara melakukan penyitaan aset dan pemblokian rekening, sehingga memulikan kerugian negara lebih efektif. Penanganan tipikor tanpaTPPU mengakibatkan hasil kejahatan tidak dapat ditarik kembali.
Dijelaskannya, bahwa dari rangkaian peristiwa, pola dan keterlibatan pihak-pihak tertentu, terdapat indikasi kuat praktik mafia tanah terstruktur, sistimatis dan melibatkan unsur korporasi, oknum apartur serta instrumen perbankan. Praktik mafia tanah tersebut dapat diidentifikas melalui pola operasi antara lain penguasaan tanah negara yang tidak diurus. Korporasi mengusai lahan HGB/HGU yang telah berakhir masa berlakunya.
“Sebagai misal PT. HWP selaku korporasi telah menjual lahan garapan eks SHGB di Cijeruk seluas 15 hektar yang telah berakhir masa berlakunya, kepada tiga orang masing-masing seluas 50.000 meter persegi yakni, Adhioga Yogasprana, Deni Saprudin dan Seno Agung, ketiganya beralamat di Bandung dengan harga total Rp27 miliar,” tutur Amir. (Dul/*)

