Kabarindo24jam.com | JAKARTA— Langkah berani pemerintah dalam memborong jet tempur dari berbagai negara disebut sebagai strategi ambisius di tengah ketegangan geopolitik yang kian meningkat. Namun di balik gebrakan itu, muncul kemudian pertanyaan tentang mampukah Indonesia mengelola armada super beragam ini tanpa menanggung risiko di kemudian hari?
Dalam sepekan terakhir, publik internasional ramai membahas kontrak jumbo Indonesia dengan Turki mengenai pembelian 48 jet tempur generasi kelima KAAN senilai 10 miliar dollar AS (sekitar Rp 162 triliun). Kesepakatan ini menjadikan Indonesia sebagai pelanggan ekspor pertama jet canggih tersebut. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bahkan memuji langkah ini sebagai tonggak baru kerja sama pertahanan kedua negara.
Belum cukup di situ, rencana lawatan Presiden Prabowo Subianto ke Moskow pada 18-20 Juni ini, turut memantik spekulasi. Apakah Indonesia akan menghidupkan kembali niat membeli 11 unit Su-35 Rusia yang sempat batal karena tekanan sanksi dan krisis anggaran?
“Kesepakatan Su-35 masih ada di atas meja,” kata Dubes Rusia Sergei Tolchenov awal tahun ini. Sinyal bahwa pintu negosiasi belum tertutup.
Di sisi lain, Indonesia terus melanjutkan komitmennya dalam proyek jet KF-21 Boramae bersama Korea Selatan, melengkapi kontrak 42 Rafale dari Prancis, serta nota pembelian 24 F-15EX dari AS. Terbaru, tawaran jet J-10C dari China pun masuk radar pertahanan Indonesia, meski masih dalam tahap awal evaluasi.
Langkah pemerintah ini disebut sebagai upaya strategis untuk memastikan Indonesia tak bergantung pada satu sumber alutsista. Dengan armada beragam — dari Rafale, F-15EX, Su-35, KF-21, KAAN, hingga mungkin J-10C — Indonesia berupaya memperkuat posisinya di kawasan.
Namun di balik strategi itu, para analis pertahanan mengingatkan potensi masalah yang tak kecil. Keragaman alutsista memang memperkecil risiko embargo satu negara, tetapi juga menyimpan persoalan teknis serius mulai dari kerumitan integrasi sistem, kebutuhan pelatihan yang berbeda-beda, hingga tantangan logistik dan perawatan.
Gebrakan belanja alutsista ini tak lepas dari upaya memperbarui armada tempur Indonesia yang sudah menua. Pesawat-pesawat lawas seperti F-5 Tiger dan sebagian F-16 dinilai tak lagi memadai menghadapi dinamika kawasan yang terus berubah.
Namun modernisasi pertahanan tak hanya soal belanja besar. Kesiapan sumber daya manusia, fasilitas pendukung, dan keberanian memilih strategi jangka panjang menjadi kunci agar ambisi ini tak hanya jadi “pesta belanja” tanpa arah.
Tantangan selanjutnya adalah harapan bahwa pemerintah kita mampu menjadikan keberagaman jet tempur sebagai kekuatan baru dan bukan malah membuka celah bagi masalah baru dalam sistem pertahanan nasional.