Kabarindo24jam.com | Banten – Di tengah perayaan Hari Anak Nasional dan gemerlap angka anggaran pendidikan Provinsi Banten yang mencapai Rp11,841 triliun, puluhan siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI) di pelosok Kabupaten Lebak masih harus menimba ilmu di gubuk reyot. Mereka terpaksa belajar di bangunan darurat yang jauh dari kata layak lantaran gedung sekolah mereka nyaris ambruk.
“Siswa di sini melaksanakan KBM (kegiatan belajar mengajar) di gubuk itu,” ujar Otong Safei, Kepala MI Mathla’ul Anwar Hayatul Jadidah, di Kampung Cimerak, Desa Margamulya, Kecamatan Cileles, Lebak, Banten.
Sekolah swasta kecil ini memiliki enam rombongan belajar (rombel), namun hanya tersedia lima ruang kelas, itupun dalam kondisi rusak berat. Akibatnya, siswa kelas 6 harus belajar di sebuah gubuk sederhana yang dibangun dari bahan seadanya. Saat musim hujan, mereka basah terkena cipratan air. Ketika cuaca panas, ruangan itu berubah menjadi oven.
“Di gubuk itu untuk kelas 6. Risikonya kalau musim hujan, anak-anak kecipratan air. Kalau musim panas, mereka kepanasan,” kata Otong.
Kondisi bangunan utama MI Mathla’ul Anwar juga tidak lebih baik. Atap bocor, dinding lapuk, dan struktur bangunan yang sudah dimakan usia membuat kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam kecemasan. “Kami selalu cemas akan keselamatan murid-murid, terutama saat cuaca buruk, seperti hujan lebat disertai angin kencang,” ucap Otong.
Otong mengaku telah mengurus sekolah ini sejak 2014. Sejak awal, kondisi bangunan memang sudah rusak. Setiap tahun ia mengajukan proposal perbaikan ke pemerintah daerah maupun lewat aplikasi SIMSAPRAS Kementerian Agama. Namun hasilnya selalu nihil.
“Jawaban dari pemerintah selalu, ‘belum berhasil’ katanya,” ucapnya lirih.
Karena tak kunjung mendapat bantuan, Otong nekat berutang ke toko material demi bisa merenovasi sebagian bangunan sekolah. “Saya sampai berutang untuk renovasi jumlahnya Rp40 juta. Yang belum lunas masih sekitar Rp10 juta. Tapi saya janji, sebelum saya meninggal, utang itu akan saya bayar,” katanya dengan suara tercekat.
Kesulitan keuangan juga melilit sekolah ini karena tidak bisa memungut iuran dari orang tua murid. Sebagian besar warga di kampung tersebut berprofesi sebagai petani dengan penghasilan tak menentu.
“Saya tidak tega meminta iuran bangunan, karena kondisi ekonomi masyarakat di sini menengah ke bawah,” jelasnya.
Ironisnya, MI Mathla’ul Anwar Hayatul Jadidah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dasar yang bisa dijangkau oleh 149 anak dari berbagai kampung di sekitarnya. Jika mereka harus bersekolah di SD negeri, anak-anak harus berjalan kaki sejauh lebih dari tiga kilometer, melewati jalan kampung yang rusak dan berlumpur.
Padahal, menurut data APBD Provinsi Banten tahun anggaran 2025, alokasi dana pendidikan mencapai Rp11,841 triliun, atau 33,51 persen dari total anggaran. Dari angka itu, Rp1 triliun dialokasikan untuk program sekolah gratis.
Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Di Hari Anak Nasional, ketika pemerintah menyuarakan komitmennya terhadap pendidikan dan kesejahteraan anak, masih ada anak-anak yang harus belajar dengan lantai tanah, atap bocor, dan dinding lapuk.
Ketimpangan ini menjadi catatan penting bagi semua pihak, bahwa pembangunan pendidikan tidak boleh hanya berhenti di angka-angka anggaran dan seremonial belaka. Suara lirih para siswa dari gubuk di pelosok Lebak ini seharusnya cukup keras untuk menggugah nurani pengambil kebijakan. (Dky*)