Kabarindo24jam.com | Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan tim Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria. Pengesahan itu dilakukan saat rapat paripurna ke-6 masa persidangan I tahun sidang 2025-2026.
Rapat digelar di ruang rapat paripurna, gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10/2025). Rapat dihadiri oleh sebanyak 426 anggota Dewan. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memimpin rapat tersebut.
Dasco mengatakan, berdasarkan rapat pengganti Badan Musyawarah, telah dibentuk tim Pansus Penyelesaian Konflik Agraria. “Kami informasikan bahwa rapat konsultasi pengganti rapat Badan Musyawarah DPR RI antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi pada 1 Oktober 2025, telah membentuk tim Pansus Penyelesaian Konflik Agraria,” kata Dasco.
“Terhadap tim Pansus Penyelesaian Konflik Agraria dan susunan keanggotaannya, apakah dapat disetujui?” tanya Dasco yang dijawab serentak oleh anggota DPR peserta rapat. Dengan demikian, Pansus ini akan segera bekerja dan diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi strategis, salah satunya pembentukan Badan Khusus Pelaksana Reforma Agraria.
Dimana, badan ini berada langsung di bawah Presiden dengan kedudukan setingkat kementerian, memiliki kewenangan kuat dan eksekutorial, serta bersifat ad hoc dengan masa kerja 15 tahun. Target utamanya adalah menurunkan jumlah petani gurem, menyelesaikan konflik agraria, dan memastikan redistribusi tanah berjalan adil serta berpihak pada kepentingan rakyat.
Sebelumnya di hari yang sama, Kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Koalisi Nasional Reforma Agraria (KNRA) menemui pimpinan DPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen. Dalam pertemuan itu, KNRA mendesak pimpinan DPR RI untuk mendorong pemerintah agar membentuk Badan Nasional Reforma Agraria.
“Kami menawarkan satu draft tentang pembentukan Badan Nasional Reforma Agraria. Lembaga nonstruktural di bawah komando langsung Presiden,” kata Ketua Umum Solidaritas Rakyat Mandiri Indonesia (SRMI) Wahida Baharuddin Upa kepada wartawan. Ia menegaskan bahwa badan tersebut diusulkan sebagai upaya menyelesaikan konflik agraria yang terus menimpa petani dan masyarakat.
Menurutnya, petani di berbagai daerah kerap menghadapi intimidasi hingga kriminalisasi saat mempertahankan lahan dari pengambilalihan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. “Ada beberapa konflik yang di situ juga ada penyerangan fisik kepada petani dan ada juga kriminalisasi,” kata Wahida. (Cky/*)