Kabarindo24jam.com | Cibinong – Rangkap jabatan yang dilakukan Anggota Komisi II DPRD, Heri Gunawan, dengan menjadi Ketua Karang Taruna Kabupaten Bogor, menimbulkan polemik berkepanjangan di tengah masyarakat selama beberapa pekan terakhir. Pro-kontra merebak, sorotan serta kritik mengalir deras, namun dukungan atas rangkap jabatan juga tak kalah banyak.
Terkini, Pengamat Politik Kabupaten Bogor, Yusfitriadi, menilai Hergun – sapaan akrab Heri Gunawan, telah masuk ke wilayah yang dilarang undang-undang. Menurutnya, praktik seperti ini tidak hanya menyalahi norma hukum, tapi juga mencederai etika publik dan prinsip integritas pejabat negara.
“Rangkap jabatan pejabat negara, termasuk anggota legislatif, memang sering kita temui. Tapi tinggal dilihat, organisasi seperti apa yang dilarang dirangkap oleh pejabat negara, termasuk DPRD,” ujar Yusfitriadi dikutip dari keterangan persnya, Rabu (15/10/2025).
Yusfitriadi menjelaskan, pejabat negara tidak diperbolehkan merangkap jabatan di organisasi yang dibiayai negara, seperti lembaga peradilan, BUMN/BUMD, organisasi olahraga nasional (KONI), atau lembaga yang menggunakan dana dari APBN/APBD.
Dalam kasus Hergun, tegas dia, Karang Taruna memang bukan lembaga pemerintah secara struktural, tetapi tetap menerima dukungan dana dari APBD Kabupaten Bogor, sehingga rangkap jabatan Hergun menjadi kontroversi publik dan memunculkan kritik yang meluas.
“Dalam konteks ini, Karang Taruna memang bukan organisasi pemerintah, tetapi sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pemerintah daerah. Karena itu, Heri Gunawan sebagai anggota DPRD sudah masuk dalam ranah rangkap jabatan yang dilarang oleh undang-undang,” tegasnya.
Posisi ganda seorang pejabat publik, menurut Yusfitriadi, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam berbagai aspek — mulai dari politik, pengawasan, hingga penggunaan dana publik.
Kondisi tersebut dinilai dapat merusak independensi lembaga legislatif dan menggerus kepercayaan publik. “Larangan rangkap jabatan itu dibuat untuk mencegah konflik kepentingan. Baik konflik dalam konteks politis, independensi organisasi, maupun dalam penggunaan anggaran negara,” ujarnya.
Ia menegaskan, posisi ganda Hergun sebagai pengawas sekaligus penerima anggaran justru membuat fungsinya sebagai legislator menjadi tidak netral. “Anggota DPRD itu punya fungsi pengawasan. Tapi kalau memimpin organisasi yang menerima dana dari APBD, di mana letak independensinya?” tutur Yusfitriadi.
Selain aspek hukum, Yusfitriadi menekankan pentingnya dimensi etika publik dan moralitas pejabat. Ia kemudian menyebut tidak pantas jika pejabat publik menggunakan jabatan sosial sebagai simbol pengaruh, terlebih jika organisasi tersebut mendapat dana dari pemerintah.
“Dari jutaan warga Kabupaten Bogor, mengapa jabatan harus dirangkap-rangkap. Hal Ini tentu saja menjadi persoalan moralitas dan etika politik,” katanya seraya menyebut langkah paling etis yang bisa ditempuh Hergun ialah melepaskan salah satu jabatan untuk menghindari benturan kepentingan dan menjaga integritas lembaga legislatif.
“Kalau Heri Gunawan masih punya integritas dan etika, sebaiknya mengundurkan diri dari jabatan di Karang Taruna. Begitu juga anggota DPRD lain atau pejabat pemerintah yang merangkap di organisasi serupa,” tambah Yusfitriadi.
Kasus rangkap jabatan ini, lanjut Yusfitriadi, bukan hanya menyangkut satu nama, melainkan menjadi ujian moral dan kelembagaan DPRD Kabupaten Bogor. Ia mengingatkan agar lembaga legislatif tidak berubah menjadi arena kepentingan pribadi atau politik kekuasaan yang menumpang di organisasi masyarakat.
Pada akhirnya, Yusfitriadi juga mendorong DPRD Kabupaten Bogor melakukan pembenahan internal dengan menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas bagi seluruh anggotanya, demi menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga wakil rakyat. (Cky/*)