Kabarindo24jam.com | Jakarta | Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen Wahyu Yudhayana, memastikan TNI AD tidak akan menyasar ruang sipil dalam upaya memperkuat instrumen siber lewat pengadaan alat siber. Wahyu memastikan, pengadaan tersebut hanya ditujukan menunjang tugas pokok pertahanan.
“Saat ini sedang diperkuat pembangunan sistem keamanan siber untuk keperluan pertahanan dan keamanan di internal TNI AD. Tentu banyak dokumen yang juga berkaitan dengan operasional. Lalu juga mendukung mempertahankan kedaulatan RI,” kata Wahyu dalam keterangan resmi yang dikutip pada Jumat (19/9/2025).
Ihwal berapa alokasi anggaran yang digelontorkan untuk belanja alat siber, Wahyu enggan menjawab. Ia mengatakan, penentuan pagu anggaran menjadi ranah Kementerian Pertahanan yang menaungi tiga matra. Namun, Wahyu memastikan bahwa penggunaan alat siber di lingkungan TNI AD akan sesuai regulasi yang berlaku.
Di sisi lain, Wahyu menekankan bahwa penggunaan siber dalam kerja intelijen perlu mengidentifikasi serangan apapun yang bisa berdampak pada keutuhan teritorial. Bukan cuma serangan seperti peretasan, tapi juga menyangkut konten atau narasi di ruang digital.
Wahyu juga mengklaim penggunaan instrumen siber TNI AD tidak akan menyasar ruang sipil. Dia menepis isu tentara melakukan patroli siber layaknya kepolisian. ”Itu tidak ada. Saya sampaikan dengan tegas. Tidak ada sedikit pun yang dikhawatirkan terkait intervensi ke sipil,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti kewenangan TNI yang tidak seharusnya berlebih masuk ranah sipil dan siber. Kewenangan berlebih TNI dalam dua aspek ini bisa membahayakan demokrasi ini lantaran diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi UU TNI).
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengatakan revisi UU TNI berpotensi besar menjadi legitimasi bagi TNI melakukan kriminalisasi. Ini merujuk pada kasus percobaan kriminalisasi terhadap Ferry Irwandi.
Upaya percobaan mempidanakan Ferry bermula saat menyuarakan kritik soal aparat TNI terlibat kerusuhan demo Agustus. Pegiat media sosial ini sempat mengaku mengalami doksing sebelum akhirnya diadukan ke kepolisian oleh TNI. Belakangan, kasus itu tak berlanjut.
“Dalam kasus Fery Irwandi, TNI memaknai secara lentur dan keliru pertahanan siber yang diartikan juga soal penegakan hukum dan kewenangan patroli siber mereka terhadap pendapat dan ekspresi warga negara,” kata Arif. (Ans/*)