Kabarindo24jam.com – Jakarta – Presiden RI Prabowo Subianto disebut bakal meresmikan Komite Reformasi Polri dan melantik sembilan orang anggotanya pada pekan depan. Dikabarkan, sejumlah tokoh publik berlatarbelakang eks pimpinan lembaga peradilan, pakar tata negara dan praktisi hukum masuk ke dalam lembaga ad hoc yang akan melakukan perubahan signifikan di tubuh Polri itu.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengungkapkan hal tersebut saat ditemui usai Upacara HUT ke-80 TNI di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025). “Minggu depan. Iya. Akan diumumkan dan dilantik oleh Pak Presiden,” ujar Prasetyo kepada wartawan. Meski begitu, Prasetyo tidak menjelaskan secara perinci waktu pelantikan Komite Reformasi Polri tersebut.
Sosok Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, Eks Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, hingga Eks Ketua Mahkamah Konstitusi Jimmy Jimly Ashiddiqie bakal bergabung di komite tersebut. “Saya kira mungkin pada paling lambat pertengahan Oktober (2025) sudah akan diumumkan komisi reformasi kepolisian itu,” kata Yusril di Jakarta, Jumat (26/9/2025).
Prasetyo Hadi sebelumnya menegaskan bahwa komite tersebut berbeda dengan Tim Transformasi Reformasi yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di internalnya. Namun, pemerintah dan Polri disebut memiliki semangat yang sama untuk memperbaiki institusi kepolisian.
Wakil Sekretaris Negara Bambang Eko Suhariyanto mengungkapkan bahwa komite bentukan Presiden akan menjadi tim utama dalam reformasi institusi kepolisian. “Yang penting, yang utama itu adalah yang dari tim bentukan presiden,” ujar Bambang.
Namun, menurut Bambang, Komite Reformasi Kepolisian dan Tim Transformasi Reformasi Polri akan saling bekerja sama. Tim bentukan Kapolri yang terdiri dari 47 jenderal dan lima perwira menengah akan membantu komite bentukan Presiden Prabowo. “Jadi, ada sinergi di situ,” kata Bambang.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Achmad Munjid, menyambut baik rencana reformasi di tubuh Polri apabila betul-betul dilakukan pembenahan secara substansial.
Ia menyebutkan lima hal yang harus dibenahi di tubuh Polri saat ini, yakni perbaikan model pendidikan Polri, penguatan pemahaman akan HAM, meritokrasi dalam rekrutmen, transparansi dan akuntabilitas lembaga, serta perlunya pengawasan secara kelembagaan.
Perbaikan tersebut menurutnya berangkat dari pendekatan praktik kekerasan yang digunakan oleh aparat polisi dalam menangani permasalahan. Hal ini menjadi cerminan, terdapat masalah mendasar dalam pendidikan kepolisian sehingga dibenahi.
Di sisi lain, soal penegakan hukum dan penangan masalah keamanan, seharusnya kepolisian tidak semata-mana mengandalkan kekerasan. Oleh karena itu, pemahaman soal hak asasi manusia perlu dimiliki oleh seluruh aparat kepolisian dari tingkat atas hingga tingkat bawahan.
Pasalnya, kurangnya pemahaman soal HAM secara paripurna menyebabkan polisi dengan mudah melakukan kekerasan. “Tidak lagi menggunakan kekerasan sebagai pilihan yang dominan, apalagi pilihan yang pertama,” imbuhnya.
Namun yang tak kalah penting, Munjid menekankan bahwa tes masuk kepolisian yang selama ini menggunakan praktik kolusi dan nepotisme harus dibenahi. Artinya, seleksi anggota Polri berdasarkan sistem meritokrasi atau berdasarkan kemampuan.
Adanya transparansi dan akuntabilitas merupakan agenda penting dalam melakukan reformasi di tubuh Polri. Munjid menjelaskan bahwa seringkali yang terjadi adalah, publik tidak bisa meminta pertanggung jawaban atas adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota kepolisian.
Di lain sisi, ia pun mengingatkan bahwa keterlibatan polisi dalam politik dan bisnis pun harus diberantas. Karenanya diperlukan adanya perbaikan sistem dengan adanya lembaga pengawasan. “Kalau polisi mau profesional, dia tidak boleh menjadi alat politik, dia tidak boleh menjadi alat bisnis,” ingatnya.
Bagi Munjid, citra dan kepercayaan publik terhadap kepolisian sedang berada di titik terendahnya. Menurutnya, tanpa adanya reformasi Polri secara substansial akan sangat sulit untuk untuk mengembalikan kepercayaan publik. Jika hal itu terjadi, maka penegakan hukum yang sudah buruk akan semakin terpuruk, dan hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi kehidupan bangsa ini. (Cky/*)