Kabarindo24jam.com | Bogor Kota –Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun ajaran 2025/2026 di Kota Bogor menuai sorotan dari berbagai kalangan, terutama terkait dengan sistem domisili atau zonasi yang digunakan dalam seleksi masuk sekolah negeri. Sistem zonasi ini dinilai masih menyisakan berbagai persoalan di lapangan.
“Kami banyak menerima aduan masyarakat, khususnya orang tua yang merasa kesulitan mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri karena faktor zonasi. Ini adalah bentuk tanggung jawab kami di DPRD untuk memastikan semua anak mendapatkan hak atas pendidikan secara adil dan merata,” ujar Wakil Ketua DPRD Kota Bogor, Moch Zenal Abidin kepada wartawan, Rabu (2/7/2025).
Zenal menambahkan, sistem penerimaan murid baru saat ini masih belum sepenuhnya mencerminkan keadilan, terutama di wilayah padat penduduk yang memiliki jumlah sekolah negeri terbatas. Menurutnya, selain perlu ada evaluasi terhadap sistem zonasi, pemerintah juga harus mempertimbangkan kebijakan lain yang lebih inklusif.
“Kami menyampaikan aspirasi masyarakat agar sistem SPMB dibuat lebih adil. Kuota penerimaan siswa harus diperluas, dan bahkan jika perlu, Pemkot harus membuka unit sekolah baru di wilayah-wilayah dengan kebutuhan tinggi. Ini sangat dibutuhkan masyarakat,” tegasnya.
Keluhan terhadap sistem domisili ini turut disampaikan oleh seorang warga, Jamaludin, yang merupakan orang tua dari calon peserta didik. Ia mengaku kecewa karena anaknya tidak lolos seleksi masuk sekolah negeri meskipun rumahnya berada tak jauh dari sekolah yang dituju.
“Jarak rumah saya tidak jauh dari SMP Negeri itu. Tapi anak saya tidak diterima karena zonanya dianggap masih kalah dengan yang lain. Rasanya seperti tersisih di kampung sendiri,” tutur Jamaluddin saat ditemui di kawasan Tanah Sareal.
Ia berharap agar pemerintah lebih bijak dalam menyusun sistem seleksi yang tidak hanya mengandalkan titik koordinat, tetapi juga memperhitungkan kebutuhan riil masyarakat akan pendidikan. “Kami sebagai orang tua ingin anak kami mendapat pendidikan terbaik tanpa harus merasa tertolak di tempat sendiri. Saya harap ada perbaikan dari pemerintah,” tambahnya.
Masalah zonasi memang menjadi salah satu tantangan utama dalam penerapan PPDB sejak diberlakukannya sistem ini oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun terakhir. Sistem ini bertujuan menghapus diskriminasi berbasis nilai akademik semata dan mendekatkan siswa dengan sekolah.
Namun, dalam praktiknya, ketimpangan distribusi sekolah negeri dan tidak meratanya pembangunan masih menjadi kendala. Hal ini diakui oleh Zenal sebagai pekerjaan rumah bersama antara DPRD dan pemerintah daerah.
“Intinya, pendidikan adalah hak semua anak. Sistem SPMB harus mampu memastikan tidak ada anak yang tertinggal hanya karena faktor administratif yang bisa diperbaiki, faktor zonasi semakin sempit dan kurang nya ruang sekolah dan keterbatasan sekolah negeri yang begitu diminati masyarakat,” pungkasnya. (Man/*)