Kabarindo24jam.com | Tojo Una-Una — Di negeri yang konon menjunjung tinggi pendidikan, suara seorang anak bernama Galang Rawadang menembus batas ruang maya dan mengguncang nurani. Di sebuah sudut pelosok Sulawesi Tengah, bocah 12 tahun itu tak menangis karena lapar atau sakit — melainkan karena takut kehilangan haknya untuk belajar.
Dalam sebuah video yang viral dan telah dibagikan ribuan kali, Galang terlihat menahan isak saat memohon agar tetap bisa bersekolah. Dengan mata sembab dan suara terbata ia berkata, “Pak, saya mau sekolah… saya mau jadi orang pintar.” Kalimat sederhana itu memukul hati siapa saja yang mendengarnya — sebuah doa polos dari anak bangsa yang enggan menyerah pada nasib.
Di balik tangisnya, terkuak fakta getir. Galang adalah siswa SDN 2 Wakai, Kecamatan Una-Una, Kabupaten Tojo Una-Una. Setiap pagi, sebelum matahari sepenuhnya terbit, ia sudah berada di sekolah, menjadi yang pertama membuka pintu gerbang ilmu. Namun rumahnya dipenuhi duka dan iba. Sang ayah lumpuh, tak mampu lagi mencari nafkah. Sementara ekonomi keluarga kian terjepit, biaya sekolah terasa bagai kemewahan yang sulit digapai.
Galang bukan sekadar pelengkap angka dalam statistik kemiskinan. Ia adalah potret nyata anak-anak di pelosok negeri yang harus berjuang sendiri demi secercah masa depan. Ia membuktikan, kemiskinan tak membunuh mimpi, justru membuatnya berteriak lebih keras agar dunia mendengar.
Kini, warganet siap bergerak. Video Galang membangkitkan gelombang simpati. Ribuan komentar memenuhi media sosial, mulai dari doa hingga ajakan untuk membantu. Tapi pertanyaannya, sampai kapan anak-anak seperti Galang harus menangis agar diperhatikan? Apakah harus viral dulu baru kemudian bantuan muncul? Padahal itu sebenarnya hak dasar yang seharusnya pemerintah daerahnya bisa tanggap dan cepat menangani.
Di negeri kaya sumber daya ini, mengapa seorang bocah harus memohon-mohon hanya untuk bisa sekolah?