Kabarindo24jam.com | Jakarta – Bupati Aceh Selatan Mirwan MS akhirnya diberhentikan sementara oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian lantaran pergi umrah di tengah bencana banjir bandang dan longsor yang melanda wilayahnya pada 2 Desember 2025 dan kepergiannya tanpa ada surat izin dari Mendagri. Kemudian, Tito menunjuk Wakil Bupati Aceh Selatan Baital Mukadis sebagai pelaksana tugas atau Plt Bupati.
“SK kedua mengenai penggantinya, namanya pelaksana tugas, yaitu menurut aturan yang ada, wakil bupati jadi pelaksana tugas saudara Baital Mukadis selama masa pemberhentian sementara,” ujar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kepada wartawan di Kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (9/12/2025).
Mendagri memutuskan Mirwan disanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan. Sanksi itu berlaku mulai hari ini hingga Maret 2026. “Dua keputusan SK yang sudah saya tanda tangani hari ini berkakitan Bupati Aceh Selatan, SK pertama mengenai pemberhentian sementara 3 bulan atas nama Mirwan MS Bupati Aceh Setalan, Provinsi Aceh,” ujar jelas dia.
Pemeriksaan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendagri menyimpulkan bahwa Mirwan melanggar Pasal 76 ayat (1) huruf i Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal tersebut mengatur larangan bagi kepala daerah maupun wakil kepala daerah untuk melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Mendagri Muhammad Tito Karnavian menjelaskan sanksi yang diberikan merupakan bentuk penegakan aturan secara tegas, merujuk Pasal 77 ayat (2) yang mengatur pemberhentian sementara selama tiga bulan dari jabatan.
“Jadi jangan sampai nanti isinya (berita) ini suka-sukanya Mendagri. Bukan, ada dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,” kata Tito, dalam keterangan tertulis, Selasa (9/12/2025).
Sebagai pengganti sementara, Mendagri menunjuk Wakil Bupati Aceh Selatan Baital Mukadis sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Aceh Selatan. Tito menambahkan selama menjalani sanksi, Mirwan akan mengikuti program pembinaan dan magang di Kemendagri.
Tito menilai dalam situasi darurat bencana, seorang kepala daerah semestinya tidak meninggalkan wilayah tanpa izin karena masyarakat sangat membutuhkan kehadiran dan kepemimpinan langsung. Atas dasar itu, Tito mengimbau seluruh kepala daerah untuk tidak meninggalkan wilayahnya hingga 15 Januari 2026, mengingat potensi bencana hidrometeorologi masih tinggi.
“Saya juga sudah mengeluarkan surat edaran agar kepala daerah tidak meninggalkan tempat dan tidak keluar negeri sampai tanggal 15 Januari. Jadi betul-betul standby terutama yang terdampak,” ujar Tito.
Tito juga meminta kepala daerah lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat terdampak bencana. Ia menekankan agar anggaran bantuan pemerintah pusat sebesar Rp 4 miliar untuk daerah terdampak digunakan secara bijak dan tepat sasaran.
“Saya sudah mengeluarkan surat edaran juga kepada seluruh daerah agar dana-dana tersebut betul-betul dipakai untuk kepentingan yang tadi yang dari pusat mungkin tidak bisa dipenuhi karena apa? Karena spesifik (kebutuhannya), misalnya tadi kebutuhan perempuan masalah popok, pampers kemudian lagi sabun, detergen,” kata Tito.
Sebagai catatan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tidak mengatur mekanisme pencopotan kepala daerah, tetapi memberikan ketentuan mengenai sanksi pemberhentian sementara. Dalam Pasal 77 ayat (2), kepala daerah yang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dapat dijatuhi sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan.
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf i dikenai sanksi pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota,” bunyi Pasal 77 ayat (2).
Adapun mekanisme pemberhentian kepala daerah berbeda dari pemberhentian sementara. Proses pemberhentian harus dimulai dari rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang minimal dihadiri 3/4 anggota dan disetujui oleh 2/3 peserta rapat. Keputusan rapat tersebut kemudian diusulkan ke Mahkamah Agung (MA) untuk memperoleh pertimbangan sebelum diambil keputusan lebih lanjut. (Cky/*)

