Kabarindo24jam.com | Jakarta – Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Habiburokhman, mengatakan tak semua pelanggaran hukum harus diselesaikan melalui jalur pengadilan. Oleh karena itu, ia menyoroti pentingnya penerapan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif dalam revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Acara Pidana (RUU KUHAP).
Konsep keadilan restoratif, tegas Habiburokhman, memberikan peluang penyelesaian perkara pidana di luar jalur pengadilan dengan menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Ia pun mencontohkan kasus guru yang dipidana akibat mencubit muridnya sebagai bentuk teguran.
Padahal, kata dia, kasus seperti itu bisa diselesaikan lewat jalur mediasi, sehingga tak perlu dibawa ke meja hijau. “Sekarang saja ada guru cubit murid jadi pidana, guru jewer murid jadi masalah. Dulu kita dipukul pakai penggaris, kayu besar, kan, kita jadi tertib, tadinya enggak hafal doa tertentu, jadi hafal,” kata Habiburokhman dalam keterangannya dikutip, Kamis (16/10/2025).
Ia menyebut penyelesaian kasus hukum lewat jalur mediasi itu sangat memungkinkan untuk diterapkan, apalagi konsep restorative justice bukanlah hal baru dalam budaya hukum tanah air. Menurutnya, hal itu sudah lama ada dalam hukum adat di Indonesia, salah satunya dalam Qanun di Provinsi Aceh.
“Kalau masalah interaksi masyarakat, apalagi hanya ITE (UU Informasi dan Transaksi Elektronik), ujaran kebencian, perkelahian pemuda, kalau zaman dulu jarang yang sampai ke kepolisian. Karena kedua belah pihak bisa berbicara dengan keluarga besarnya masing-masing. Malah dari berkelahi, jadi saudara,” katanya.
Dengan begitu, Habiburokhman menilai nilai hukum itu sebetulnya baik diterapkan, sehingga layak diformulasikan ke dalam RUU KUHAP. Hal ini ditujukan agar tak ada tumpang tindih antara hukum adat dan nasional.
“Ini nilai-nilai yang sebetulnya baik, yang sudah kita praktikkan dulu, kita eksplorasi lagi mau kita masukkan ke norma hukum kita. Supaya kalau jadi norma, enggak semua-semua salah itu harus ke pengadilan,” tutur Habiburokhman.
Beberapa waktu lalu, terdapat kasus antara Kepala SMAN 1 Cimarga Kabupaten Lebak, Banten dan muridnya yang menjadi sorotan. Diketahui, kepala sekolah tersebut melakukan tindak kekerasan kepada muridnya dengan cara menamparnya.
Siswa tersebut ditampar lantaran ketahuan merokok. Aksi kepala sekolah pun menuai gelombang protes dari siswa hingga melakukan mogok belajar. Keluarga korban pun melaporkan tindakan itu ke polisi hingga akhirnya kepala sekolah dinonaktifkan dan tak lama kemudian penonaktifannya dicabut kembali oleh Gubernur Banten Andra Soni. (Cky/*)