Sabtu, 20 April 2024

BPK Waspadai Peningkatan Korupsi Anggaran Penanganan Covid 19

JAKARTA  — Pandemi Covid-19 yang melanda sejak awal tahun 2020 dinilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sangat meningkatkan resiko terjadinya korupsi anggaran di Kementerian dan lembaga pemerintah yang lain. Resiko tersebut terjadi di bidang strategis, dimana tujuan kebijakan tidak tercapai secara efektif maupun efisien.

Resiko moral hazards dan kecurangan dalam bentuk resiko penyalahgunaan kewenangan dan kecurangan dalam pelaksanaan kebijakan yang dapat merugikan keuangan negara. Resiko lainnya adalah terkendalanya pelaksanaan di lapangan karena kompleksitas kegiatan, rentang kendali yang luas, koordinasi pusat dan daerah, juga validitas data. 

“Dan banyaknya peraturan baru yang harus diterapkan dalam waktu secepatnya. Seperti yang terjadi di Kemensos (Kementerian Sosial), satu contoh resiko moral hazard,” jelas anggota BPK Hendra Susanto dalam keterangan persnya, Kamis (04/02/2021).

Adapula resiko kepatuhan, yaitu resiko pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk resiko penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang dapat menimbulkan resiko hukum.

Begitu juga penyajian laporan keuangan yakni penyimpangan dalam PBJ di masa pandemi Covid 19 dapat mempengaruhi akun belanja modal, belanja barang, persediaan dan aset tetap yang berdampak pada kewajaran penyajian laporan keuangan pemerintah.

“Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan kementerian dan lembaga, termasuk pula penyajian dan pertanggungjawaban atas pengelolaan anggaran untuk penanganan Covid-19. Baik yang bersumber dari bendahara umum negara maupun hasil refocussing anggaran dan realokasi kegiatan di masing-masing lembaga,” tuturnya.

Hendra pun memaparkan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) tahun 2019. Ditambahkannya, LKKL ini menunjukkan bahwa dari 20 entitas kementerian dan lembaga (K/L) yang diperiksa oleh AKN I, terdapat 17 K/L mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), 2 K/L mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan 1 entitas BPK Tidak Memberikan Pendapat (TMP/disclaimer).

Baca Juga :  Kasus Formula E Berlanjut, KPK Panggil Anies Baswedan

“BPK berharap agar rekomendasi hasil pemeriksaan BPK mendapat perhatian dari segenap pimpinan K/L yang hadir pada hari ini. Tujuannya, untuk segera ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Hendra seraya menambahkan hal ini bertujuan agar pada opini LKKL Tahun 2020 nantinya, entitas yang telah baik dapat dipertahankan. 

Sementara itu, ada satu K/L yang mendapatkan opini disclaimer adalah Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan adanya kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi (Backbone Coastal Surveillence System/BCST) Tahun 2016.

Kasus itu bermula ketika munculnya usulan anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) senilai Rp 400 miliar pada tahun anggaran 2016.

“Itu 3 tahun berturut-turut disclaimer, kasus pengadaan backbone coastal, sehingga asetnya Rp 400 miliar tidak bisa digunakan dengan baik. Karena itu, BPK tidak bisa masuk, sehingga tidak bisa beri WTP, maka opininya disclaimer,” kata Hendra.

Kendati demikian, katanya lagi, BPK tidak membiarkan Bakamla (Badan Keamanan Laut) kerja sendirian dalam menyusun laporan keuangan agar menjadi opini WTP. “Kami bantu mereka agar jadi WDP atau WTP. Kami beri masukan agar tata kelola jadi lebih baik,” tutup Hendra. (**/CP)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini