Sabtu, 27 Juli 2024

Masyarakat Diminta Waspada, Kaum Muda Jadi Sasaran Paham Radikalisme

JAKARTA — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jendral Pol Boy Rafli Ammar meminta masyarakat luas dan berbagai pihak di tanah air untuk mewaspadai penyebaran paham radikalisme atau intoleran yang saat ini cendrung menyasar generasi atau kaum muda. Boy menegaskan generasi muda menjadi target kelompok radikal karena dianggap lebih mudah mengubah pola pikirnya.

“Kalau di Indonesia ini sangat jelas fakta-fakta pengaruh paham radikalisme-intoleran yang intens menyasar generasi muda, karena dia tahu anak muda adalah kelompok potensial dan produktif yang punya idealisme tinggi dan mudah berubah cara berpikirnya,” tutur Boy Raffli dalam sesi diskusi virtual di Jakarta, Jumat (5/2/2021).

Menurut mantan Kadiv Humas Mabes Polri dan Kapolda Papua ini, para pelaku penyebaran paham radikalisme meyakini ketika anak-muda berusia belasan tahun diberikan pemahaman-pemahaman atau doktrin-doktrin, mereka menjadi sangat berubah cara berpikirnya secara ekstrem,” ujar Boy.

Boy Rafli juga menyebutkan ancaman terorisme merupakan sebuah ancaman yang nyata. Bahkan saat ini, ada upaya proses radikalisasi yang masif di dunia. Tak hanya di Indonesia, beberapa negara di dunia kini juga memiliki masalah serupa. Karenanya, tindak pidana terorisme kini telah menjadi bahaya laten dunia.

“Kita melihat ancaman terorisme adalah nyata dan dia bisa terjadi di mana saja dan bisa menjadikan pihak siapa saja yang menjadi korban dan bisa menjadikan masyarakat jadi bagian dari kejahatan itu Jadi kalau tidak sadar masyarakat bisa masuk ke dalam pengaruh dan kemudian tidak sadar ikut dalam kejahatan terorisme,” urainya.

Ia pun menjelaskan paham radikalisasi memang dapat mengubah pola pikir masyarakat dengan mewajarkan berbagai tindakan kekerasan. Pola pikir itu masuk dengan menunggangi ajaran agama tertentu hingga melalui propaganda.

“Karena radikalisasi mengubah alam pikiran orang. Bahkan melegalkan cara-cara kekerasan di dalam melakukan aktivitas upaya pencapaian tujuan. Ketika dia yakinin pemahaman dan keyakinannya dan dia ingin capai tujuan itu maka tidak bisa menggunakan cara-cara yang damai,” terang Boy Rafli.

“Pada akhirnya orang akan memilih jalan (kekerasan) karena dia yakin apa yang dia lakukan itu sebagai sebuah kebenaran. Andaikan dia mati di dalam melakukan tindakan-tindakan itu maka katanya mati masuk surga dan sebagainya. Dan tanpa disadari virus ini masuk ke dalam sistem kehidupan masyarakat,” tambahnya.

Sebagai contoh kasus, BNPT mencatat ada 1.250 warga negara Indonesia (WNI) yang telah pergi ke Irak dan Suriah sampai 2021 ini. Kepergian ribuan WNI itu ke Irak dan Suriah untuk mengikuti kelompok-kelompok terorisme. Dari jumlah yang pergi ke Irak dan Suriah itu, sebagian telah meninggal dunia akibat aksi bom bunuh diri.

Baca Juga :  Indriyanto Seno Adji, Putra Mantan Ketua Mahkamah Agung Dipercaya Presiden Jabat Dewan Pengawas KPK

“Sebagian lagi ditahan, sementara wanita dan anak-anak saat ini berada di kamp pengungsian. Mereka semua yang pergi ke Irak dan Suriah terbujuk dengan apa yang ditawarkan dalam konten narasi radikalisasi oleh kelompok-kelompok terorisme. Inilah dampak proses radikalisasi itu,” papar Boy.

Menurut catatan BNPT, sudah hampir 2.000 masyarakat Indonesia berkaitan dengan kasus tindak pidana terorisme dalam waktu 20 tahun terakhir. “Ancaman tindak kejahatan terorisme adalah ancaman yang nyata adanya di tengah masyarakat,” imbuhnya.

Berdasarkan catatan kelam itu, BNPT memprakarsai penerbitan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme (RAN PE) tahun 2020-2024. Regulasi tersebut telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 6 Januari dan resmi diundangkan pada 7 Januari 2021.

Boy Rafli mengungkapkan, pembentukan Perpres RAN PE didasari semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada aksi terorisme di Indonesia. Kondisi ini menciptakan situasi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.

Pemahaman tentang radikalisme ini sesuai dengan yang didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (2) Perpres RAN PE. Bahwa Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.

Pada ayat (4) dijelaskan, Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana.

Dalam menanggulangi radikalisasi yang mengarah pada terorisme, Perpres RAN PE mengedepankan pendekatan lunak atau soft approach. Penyusunan dan implementasi soft approach Perpres RAN PE menekankan pada keterlibatan menyeluruh pemerintah dan masyarakat.

“Dalam Perpres ini banyak hal-hal yang mengarah kepada langkah-langkah pencegahan, koordinasi, peningkatan kapasitas di antara pemangku kepentingan, serta mengedepankan partnership, kemitraan, baik dengan masyarakat sipil yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri,” tutup Boy. (**/CP)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini