KabarIndo24Jam.com | Jakarta – Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer Kejaksaan Agung (Jampidmil Kejagung) ternyata terus mengusut perkara dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tahun 2012-2021. Bahkan terkni, Kejagung menetapkan seorang purnawirawan Bintang dua TNI Angkatan Laut sebagai tersangka dalam kasus ini.
“Penyidik telah menetapkan tersangka pertama, Laksamana Muda TNI (Purn) L selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan dan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Kedua, ATVDH (selalu perantara). Ketiga, GK selaku CRO Navayo International AG,” beber Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar dalam keterangannya dikutip, Kamis (8/5/2025).
Harli menjelaskan duduk perkara kasus tersebut. Kasus berawal ketika Kemenhan melalui tersangka L menandatangani kontrak dengan tersangka GK pada Juli 2016 tentang perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment) senilai USD 34.194.300 dan berubah menjadi USD 29.900.000.
“Bahwa penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa,di mana Navayo International AG juga merupakan rekomendasi dari (tersangka) ATVDH,” jelas Harli.
Navayo International AG mengakui telah mengirim barang kepada Kementerian Pertahanan RI. Kemudian ditandatangilah empat buah surat Certificate of Performance (CoP) atau sertifikat kinerja terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG.
“Di mana CoP tersebut yang telah disiapkan oleh ATVDH tanpa dilakukan pengecekan terhadap barang yang dikirim terlebih dahulu. Pihak Navayo International AG melakukan penagihan kepada Kemenhan Republik Indonesia dengan mengirimkan empat invoice (permintaan pembayaran dan CoP),” tuturnya.
Sampai dengan tahun 2019, di Kemenhan RI tidak tersedia anggaran pengadaan satelit. Kemudian dilakukan pemeriksaan atas pekerjaan Navayo International AG oleh ahli satelit Indonesia atas permintaan penyidik koneksitas Jampidmil.
“Dengan kesimpulan pekerjaan Navayo International tidak dapat membangun sebuah Program User Terminal karena hasil pemeriksaan laboratorium terhadap handphone sebanyak 550 buah tidak ditemukan secure chip inti dari pekerjaan user terminal, hasil pekerjaan Navayo International terhadap user terminal tidak pernah diuji terhadap Satelit Artemis yang berada di Slot Orbit 1230 BT, dan barang-barang yang dikirim Navayo International tidak pernah dibuka dan diperiksa,” tuturnya.
Kemudian Kemenhan RI diharuskan membayar USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura. Hal itu karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP). Sementara menurut perhitungan BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG berdasarkan nilai kepabeanan sebesar IDR 1.92 miliar.
“Untuk memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura dan permohonan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan dan rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris.
Atas Putusan Pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbritase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura, penyidik Jampidmil kemudian menetapkan tersangka berdasarkan Surat Perintah Nomor Sprin 78A/PM/PMpd.1/05/2025 Tanggal 05 Mei 2025,” ungkapnya.
Kemudian ditetapkanlah ketiga tersangka seperti yang telah disebutkan di atas. Akibat perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi. “Pasal yang disangkakan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat satu kesatu juncto Pasal 64 KUHP,” ucap Harli.
Tersangka juga dijerat dengan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu, juncto Pasal 64 KUHP.
“Lebih subsider Pasal 8 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 KUHP,” tutupnya. (Cok/*)