Jumat, 29 Maret 2024

Gubernur, Walikota dan Bupati Berhati-Hatilah! Modus Korupsi Pemerintah Daerah sudah Dibidik KPK

JAKARTA — Sejumlah area atau bidang kerja yang berpotensi besar  memunculkan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) level Provinsi dan Kota/ Kabupaten sudah menjadi catatan khusus sekaligus fokus pemantauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karenanya, para kepala daerah diminta untuk berhati-hati dalam dalam menjalankan tugas dan wewenangnya jika terkait hal terkait area yang dibidik KPK.

Kerua KPK, Firli Bahuri, lantas mengingatkan para kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) agar bertindak cermat dan transparan dalam mengelola kebijakan dan program Pemda. “Ada tujuh aspek pengelolaan daerah yang rentan menimbulkan tindak pidana korupsi, ini yang patut menjadi perhatian pimpinan daerah,” ucap Firli dikutip dari laman resmi KPK, Selasa (2/2/2021).

Perwira tinggi Polri berpangkat Komisaris Jendral ini menambahkan, kebijakan Kepala Daerah dan Pemda akan menentukan keberhasilan dalam melakukan pembangunan dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan publik di level daerah harus dibuat dengan hati-hati agar tidak menjadi alat melakukan korupsi.

Dijelaskannya, dari pengalaman menangani kasus korupsi selama ini, terdapat 7 area yang rentan praktik korupsi pada level Pemda. Pertama, pada area reformasi birokrasi yakni pada saat rekrutmen (penerimaan CPNS, pegawai dengan perjanjian kontrak dan tenaga honorer) serta promosi pejabat mulai eselon IV sampai eselon II. 

Kedua, pada aspek pengadaan barang dan jasa (lelang tender proyek & penunjukan langsung) di lingkungan dinas atau badan. “Pada pengadaan barang/jasa biasanya kolusi dengan penyedia, mark up harga, benturan kepentingan dalam pengadaan, kecurangan dan lainnya,” katanya.

Ketiga, kerentanan praktik korupsi pada pengelolaan filantropi atau sumbangan dari pihak ketiga. Aspek ini memerlukan perhatian khusus mulai dari kejelasan data tentang pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan.

Baca Juga :  Ketua DPR Redam Spekulasi Soal Panglima TNI, Pilihan Presiden Pasti yang Terbaik

Keempat, potensi korupsi saat melakukan realokasi anggaran khususnya penanganan pandemi Covid-19. Kelima, tata cara penyelenggaraan jaring pengaman sosial mulai dari pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan serta pengawasan.

Keenam, risiko dari program pemulihan ekonomi nasional dengan memberikan bantuan atau stimulus yang tidak tepat sasaran. Ketujuh, kerentanan korupsi saat eksekutif dan legislatif bertemu saat pengesahan anggaran dan Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Kepala Daerah atau LKPJ.

“Saya tahu ini sering terjadi karena ada tarik ulur antara legislatif (DPRD) dan eksekutif terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tolong ini dicatat betul, harus tegaskan bahwa uang yang digunakan dalam menyusun anggaran dan program itu adalah uang rakyat,” ujar Firli.

Menyikapi hal tersebut, KPK kini telah memberikan panduan dalam pelaksanaan anggaran untuk penanggulangan pandemi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Panduan tersebut terbit dalam bentuk surat edaran (SE) No.8/2020.

SE tersebut menegaskan 8 perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi pada masa pandemi antara lain melakukan persekongkolan atau kolusi dengan penyedia barang/jasa atau para pihak dan menerima kickback.

Selanjutnya, tindakan yang mengandung unsur penyuapan, gratifikasi, adanya unsur benturan kepentingan dan mengandung unsur kecurangan administrasi. Perbuatan yang masuk kategori korupsi pada masa krisis Covid-19 selanjutnya adalah berniat jahat dengan memanfaatkan kondisi darurat dan membiarkan terjadinya tindak pidana korupsi. (Cok/**)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini