Rabu, 4 Oktober 2023

Abaikan Kecaman Internasional, Militer Myanmar Bentuk Pemerintahan Baru

NAYPYIDA – Pengambilalihan kekuasaan secara paksa (kudeta) oleh militer dari Pemimpin Utama sekaligus konselor negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Myint pada Senin (1/2/2021) kemarin, berlanjut dengan membentuk kabinet baru dan pemecatan 24 menteri. Selasa (2/2/2021), secara resmi  penguasa militer menunjuk sejumlah jendral aktif dan pensiunan serta tokoh dari kolega politiknya.

Meskipun aksi kudeta menuai reaksi keras sekaligus kecaman dari para pemimpin dunia, penguasa militer yang dipimpin oleh Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Myanmar Jendral Min Aung Hlain, tetap membentuk pemerintahan baru bersama mitra politiknya, Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP).

Seperti dilansir stasiun TV yang dikuasai militer Myanmar, Jendral Min Aung menunjuk Jenderal Mya Tun Oo sebagai Menteri Pertahanan. Kemudian posisi Menteri Dalam Negeri dipercayakan kepada Letnan Jenderal Soe Htut, Menteri Urusan Perbatasan diserahkan kepada Letnan Jenderal Tun Tun Naing. Lalu Menteri Luar Negeri diserahkan kepada U Wunna Maung Lwin, seorang anggota Komite Eksekutif Pusat USDP yang kalah dalam Pemilu 8 November lalu. 

U Win Shein, kandidat USDP lain yang gagal dan mantan perwira militer, ditunjuk sebagai Menteri Perencanaan, Keuangan dan Industri. Dia adalah Menteri Keuangan dan Pendapatan di bawah U Thein Sein. Kementerian Investasi dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri dipercayakan kepada U Aung Naing Oo yang juga mantan perwira militer.

Berikutnya, mantan perwira militer sekaligus kepala penasihat politik untuk Kantor Presiden di bawah U Thein Sein, U Ko Ko Hlaing, dipercaya sebagai Menteri untuk Kerja Sama Internasional yang sebelumnya dipegang oleh U Kyaw Tin.

Terkait dengan perampasan hasil demokrasi di Myanmar dan penahanan Aung San Suu Kyi itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengancam akan menjatuhkan sanksi kembali terhadap Myanmar dan menyerukan dunia untuk mengecam perampasan paksa hasil demokrasi di negara Asia Tenggara.

Baca Juga :  Kasus Formula E, KPK Fokus Pada Pihak yang Salah Gunakan Wewenang

Amerika Serikat pernah memberi sanksi sewaktu rezim militer di dekade 90 dan 2000an, namun mencabutnya seiring kemajuan sistem politik Myanmar menuju demokrasi setelah digelar pemilihan umum demokratis yang menghasilkan pemimpin pilihan rakyat, Aung San Suu Kyi. 

Joe Biden menyebut kudeta ini sebagai serangan langsung terhadap transisi negara menuju demokrasi dan supremasi hukum. Ia meminta komunitas internasional untuk menekan militer Myanmar agar segera melepaskan kekuasaan yang mereka rebut.

Sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan bahwa negaranya berdiri bersama dengan orang-orang yang peduli terhadap rakyat Myanmar di saat-saat sulit ini. Ia pun meminta seluruh negara di kawasan dan agar memberikan tanggapan atas kudeta militer di Myanmar.

Pihak militer Myanmar setelah menahan Aung San Suu Kyi, Presiden Win Mynt, dan pemimpin politik lainnya juga mengumumkan status darurat bagi Myanmar selama setahun ke depan. Diumumkan juga bahwa aksi militer sebagai tanggapan atas klaim “kecurangan pemilu” 2020.

Sementara pemimpin militer Min Aung Hlaing berjanji untuk mempraktikkan “sistem demokrasi multi-partai yang berkembang dengan disiplin yang tulus”. Min Aung juga menjanjikan pemilihan yang bebas dan adil dan penyerahan kekuasaan kepada partai pemenang, katanya, tanpa memberikan keterangan waktu.

Dalam kaitan itu, Partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional Demokrasi, telah meminta masyarakat untuk melakukan aksi protes atas kudeta yang dilakukan pihak militer. Diperkirakan, massa pendukung Aung San Suu Kyi dalam beberapa hari kedepan akan turun ke jalanan memprotes perlakuan militer terhadap pemimpin mereka. (CP/CNN/Reuter)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini