Kamis, 28 Maret 2024

Kejaksaan Mulai Penyidik Kasus Proyek Satelit Kemenhan

JAKARTA– Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia telah menaikkan status kasus proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ke tahap penyidikan setelah tim jaksa penyidik memeriksa 11 orang saksi dalam kasus yang diduga merugikan negara ratusan miliar Rupiah.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Ardiansyah mengungkapkan, bahwa pihaknya bergerak cepat melakukan pendalaman atas kasus tersebut. “Kami telah menyelidiki kasus ini selama satu minggu dan sudah memeriksa beberapa pihak,” katanya kepada wartawan, Jumat (14/1/2022).

Namun Febrie tidak merinci identitas para saksi yang sudah dimintai keterangan. Namun, dia mengatakan saksi tersebut berasal dari pihak swasta dan Kemenhan. “Dari pihak swasta atau rekanan pelaksana maupun dari beberapa orang di Kementerian Pertahanan,” ujarnya.

Menurut Febrie, tim jaksa penyelidik juga melakukan sejumlah koordinasi dan diskusi dalam rangka melakukan pencarian alat bukti. Sejumlah bukti yang diperoleh tim jaksa penyelidik, tambahnya, di antaranya laporan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta dokumen lainnya.

“Selain itu juga didukung dengan dokumen yang lain, yang kami jadikan alat bukti seperti kontrak dan dokumen-dokumen lain dalam proses pelaksanaan pekerjaan itu sendiri,” ujar mantan Kepala kejaksaan Tinggi DKI Jakarta itu.

Terkait dengan kemungkinan pemeriksaan terhadap mantan Menteri Pertahanan Jendral TNI Purn Ryamizard Ryacudu yang menjabat saat kasus itu terjadi, Febrie Ardiansyah menjelaskan sejauh ini pihaknya belum mengagendakan pemeriksaan Ryamizard.

Namun seiring perkembangan penyidikan, mantan KSAD era Presiden Megawati Soekarnoputri itu nantinya akan ikut diperiksa sebagai saksi. Menurut Febrie, dalam proses penyidikan, pihaknya akan meminta keterangan berdasarkan bukti yang sudah didapatkan.

Kejagung, sambung Febrie, juga tidak melihat kapasitas, jabatan dan posisi pihak-pihak yang akan diperiksa untuk mengungkap kasus ini. “Kami tidak melihat posisinya tapi bagi orang-orang yang perlu dimintai keterangan dalam penyidikan dan itu korelasimya untuk pembuktian,” ujarnya.

Baca Juga :  Wujud Memelihara Kerukunan Antar Umat Beragama, Danyonif 751/VJS Hadiri Peringatan Hari Raya Kathina Puja 2567 BE/2023 M

Dugaan pelanggaran hukum dalam pengadaan satelit slot orbit Kemhan ini pertama kali diungkapkan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyebutkan permasalahan ini berawal ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015. Kontrak itu dilakukan kendati penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kemkominfo baru diterbitkan pada 29 Januari 2016.

Namun pihak Kemenhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kemkominfo.Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan ternyata belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.

Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016, yang anggarannya pada 2015 juga belum tersedia. Sedangkan di Tahun 2016, anggaran telah tersedia tetapi dilakukan self blocking oleh Kemenhan.

Dengan adanya permasalahan ini, selanjutnya Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara harus mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis. “Biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar,” ujar Mahfud.

Selain itu, Navayo juga mengajukan tagihan sebesar USD16 juta kepada Kemenhan. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021, Kemenhan harus membayar USD20.901.209 atau setara Rp314 miliar kepada Navayo.

“Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi,” ujar Mahfud. (***/CP)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini