Kamis, 28 Maret 2024

Kudeta Militer Bikin Murka Joe Biden, Amerika Serikat Stop Bantuan ke Myanmar 

WASHINGTON — Presiden  Amerika Serikat (AS) Joe Biden membuktikan ancamannya untuk memberikan sanksi tegas kepada rezim militer Myanmar pasca aksi kudeta yang merampas kebebasan sipil dan membunuh demokrasi, Senin lalu (1/2/2021).

Tindakan ilegal para jendral Myanmar yang menangkap pemimpin utama Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint beserta tokoh-tokoh politik negeri tersebut, membuat geram para pemimpin banyak negara demokrasi, termasuk Presiden AS.

Rabu (3/2/2021), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS menyatakan secara resmi mereka menghentikan semua bentuk bantuan kepada Myanmar. Pemerintah AS menganggap kudeta militer merupakan kejahatan serius dan tak bisa ditolerir apapun alasannya.

“Kami menilai bahwa militer Myanmar pada 1 Februari telah menggulingkan pemerintahan terpilih. Ini merupakan kudeta militer yang sangat ditentang oleh pemerintah AS,” ucap Juru Bicara Kemenlu AS Ned Price seperti dikutip dari kantor berita AFP.

Ned menambahkan, bahwa pemerintah AS akan terus bekerja sama dengan erat bersama mitra AS di kawasan dan dunia untuk mendukung penuh demokrasi dan penegakan hukum di Myanmar,” imbuhnya.

Sebagai informasi, berdasarkan hukum di Negeri Paman Sam, dengan adanya pengakuan kudeta oleh militer, maka pemerintah AS dilarang memberi bantuan langsung ke pemerintah Myanmar. Bantuan hanya akan diberikan ke lembaga non-pemerintah.

Sejak 2012 silam, Pemerintah AS telah memberikan dana sebesar USD1,5 miliar (setara Rp 21 triliun) kepada Myanmar. Dana bantuan tersebut ditujukan untuk membantu penyelenggaraan demokrasi, perdamaian, kemanusiaan, dan penanggulangan kekerasan di Myanmar.

Namun begitu, Kemenlu AS memastikan akan tetap memberikan dana kemanusiaan untuk membantu etnis Rohingya yang terus menjadi korban pembantaian aksi militer Myanmar. “Namun, pencairan bantuan akan diberikan melalui peninjauan mendalam,” kata Ned.

Baca Juga :  Pemerintah Transisi Menuju Pemilu 2021, Libya Segera Keluar dari Kekacauan Politik

Sementara itu dilaporkan, Aung San Suu Kyi, pemimpin utama sekaligus ikon demokrasi Myanmar, akan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan memiliki walkie-talkie impor dan melanggara protokol Covid-19.

Polisi negara yang dikendalikan militer menyebutkan walkie-talkie ditemukan saat penggeledahan di rumah Suu Kyi di Yangon, tempat dia dikurung sejak kudeta militer, Senin lalu. Suu Kyi juga dituding melakukan pelanggaran protokol Covid-19 karena menjabat tangan orang-orang dekatnya.

Suu Kyi, yang tidak kelihatan sejak tentara menahannya, berpotensi dijatuhi hukuman maksimal dua tahun jika dinyatakan bersalah. Nasib sama juga menimpa Win Myint, presiden terguling Myanmar, yang didakwa melanggar protokol Covid-19 lantaran menciptakan kerumunan pemilih saat kampanye.

Menyusul kudeta itu, pendukung Suu Kyi dari kalangan dokter, menggelar aksi mogok dan pembangkangan sosial bersama tenaga medis dan staf rumah sakit. Mereka menolak menangani pasien non-darurat, dan hanya bekerja jika benar-benar pasien butuh pertolongan datang.

Aktivis demokrasi Myanmar juga mengumumkan kampanye di grup Facebook, disebut Gerakan Pembangkangan Sipil, pada Rabu 3 Februari sore. Gerakan ini menghimpun 150 ribu pengikut dalam 24 jam.

Bentuk pembangkangan lain, dilakukan masyarakat biasa, adalah menabuh panci dan wajan di depan pintu rumah atau di jendela lantai. Di jalanan, pengemudi menekan klason mobil tak henti-henti setiap kali melewati truk tentara. (AFP/CP)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini