Sabtu, 27 Juli 2024

Unjuk Rasa Rakyat dan Sanksi Internasional Kian Menekan Rezim Militer Myanmar

NAYPYIDAW — Aksi brutal petinggi militer Myanmar merebut paksa kekuasaan negara dari pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada 1 Februari 2021, tak hanya memunculkan gelombang unjuk rasa rakyat yang marah di hampir seluruh wilayah Myanmar, tetapi juga mendatangkan kecaman keras serta sanksi internasional.

Presiden Amerika Serikat.(AS) Joe Biden yang ingin berperan penting dalam berbagai krisis dunia menegaskan sanksi dengan memblokir akses keuangan senilai 1 miliar Dolar AS serta properti milik para jendral militer Myanmar dan keluarganya yang tersimpan di berbagai lembaga keuangan di AS.

Selain itu, Joe Biden akan menutup aktivitas ekspor permata oleh tiga perusahaan yang dikendalikan militer. “Kami juga siap untuk mengambil tindakan tambahan jika militer Myanmar tidak mengubah arah dan terus menggunakan kekerasan,” kata Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, seperti dikutip kantor berita AFP, Jumat (12/2/2021).

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengatakan Inggris segera mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi pada Myanmar atas kudeta yang terjadi pekan lalu. “Kami sedang melihat langkah-langkah lebih lanjut di bawah rezim militer yang merusak demokrasi. Tentunya kami sedang menyiapkan sanksi,” ujarnya.

Selandia Baru juga terdepan menentang keras aksi militer Myanmar. Negara yang terletak di samping kutub selatan ini menangguhkan semua kontak tingkat tinggi dengan Myanmar dan memberlakukan larangan perjalanan pada para pemimpin militer.

“Pesan kuat kami adalah kami akan melakukan apa yang kami bisa lakukan dari sini di Selandia Baru dan salah satu hal yang akan kami lakukan adalah menangguhkan dialog tingkat tinggi itu dan memastikan dana apa pun yang kami berikan ke Myanmar tidak dengan cara apa pun mendukung rezim militer,” kata Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern.

Ardern juga menambahkan program-program bantuan yang diberikan kepada Myanmar dipastikan tidak akan menguntungkan pihak militer yang kini berkuasa. Program bantuan Selandia Baru ke Myanmar bernilai sekitar 42 juta dollar Selandia Baru atau sekitar Rp 42 miliar antara 2018 dan 2021.

Baca Juga :  Pemerintah Larang Mudik, Polda Gelar Penyekatan Akses Masuk Wilayah Sumatera Utara

Terkait hal itu, Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell juga memperingatkan bahwa blok UE dapat menjatuhkan sanksi baru pada militer Myanmar oleh karena UE sangat menentang tindakan militer dalam kehidupan politik maupun demokrasi di suatu negara.

Sementara Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Jumat (12/2/2021) mengadakan sesi khusus untuk membahas krisis politik yang sedang berlangsung di Myanmar setelah adanya permintaan resmi oleh Inggris dan Uni Eropa menyusul kekuatiran terjadinya tindakan militer yang keras dan kejam.

Seperti dilaporkan, berbagai sanksi keras itu membidik Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing, yang sekarang memegang kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutif di Myanmar. Selain itu, para pemimpin militer di kabinet baru seperti Menteri Pertahanan Jenderal Mya Tun Oo.

Mayoritas pemimpin internasional juga meminta militer menahan diri dari penggunaan kekerasan ke pendemo yang beberapa hari terakhir ini membanjiri jalanan. Dan dunia pun juga meminta Suu Kyi dibebaskan segera bersama semua pejabat yang ditangkap.

“Segera bebaskan pemimpin dan aktivis politik demokratis yang sekarang ditangkap termasuk Aung San Suu Kyi Presiden Win Myint beserta para pejabat dan pemimpin politik yang berseberangan dengan pihak militer,” kata Presiden Joe Biden mewakili suara internasional.

Kudeta yang terjadi di Myanmar pada 1 Februari lalu diawali oleh penahanan Suu Kyi bersama Presiden Win Myint dan para petinggi lainnya oleh kelompok militer. Penahanan yang berujung kudeta itu dilakukan setelah berhari-hari ketegangan meningkat antara pemerintah sipil dan junta militer. 

Partai NLD yang dipimpin Aung San Suu Kyi meraih kemenangan dalam pemilu 8 November 2020 lalu, pemilihan yang dianggap bebas dan adil oleh pengamat internasional sejak berakhirnya kekuasaan militer langsung pada tahun 2011.

Namun, kelompok militer menilai terjadi kecurangan pemilih yang meluas meski sudah dibantah oleh komisi pemilihan. Hal itu telah menyebabkan konfrontasi langsung antara pemerintah sipil dan militer Myanmar. (***/Cok)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini