Jumat, 19 April 2024

Myanmar Kacau Balau, Rakyat Tak Gentar Hadapi Militer, PBB Makin Gusar

NAYPYIDAW — Tak gentar dengan teror dan ancaman dari penguasa militer, Senin dan Selasa (22-23/2/2021), ratusan ribu orang kembali turun ke jalanan di kota-kota besar Myanmar sebagai bagian dari aksi pemogokan sipil menyerukan penolakan terhadap kudeta atas pemerintahan hasil demokrasi oleh militer.

Kantor berita Reuters melaporkan, semua sektor bisnis tutup karena pemilik dan karyawan bergabung dalam aksi pemogokan. Para pengunjuk rasa tidak terpengaruh oleh pernyataan pihak militer yang baru-baru ini telah memperingatkan akan mengambil langkah ekstrem, di mana demonstran mungkin akan kehilangan nyawanya.

“Para pengunjuk rasa sekarang menghasut orang-orang menggunakan cara konfrontasi, yang dapat membuat mereka menderita kehilangan nyawa,” kata penyiar MRTV yang dikelola militer, memperingatkan demonstran terhadap “kerusuhan dan anarki” yang bisa terjadi.

Peringatan tersebut muncul setelah setidaknya dua orang tewas dalam protes pada Minggu (21/2). Ancaman pada pengunjuk rasa kemarin merupakan kekerasan terparah dalam lebih dari dua minggu demonstrasi.

Dalam kaitan itu, tekanan asing terhadap para pemimpin militer juga . Pada Senin malam (22/2), Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab juga menuntut pembebasan pemimpin pro demokrasi yang juga pendiri partai pemenang pemilu Myanmar 2016 dan 2020 Aung San Suu Kyi.

Baca Juga :  Unjuk Rasa Rakyat dan Sanksi Internasional Kian Menekan Rezim Militer Myanmar

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres menyerukan kepada militer Myanmar untuk segera menghentikan penindasan.

“Bebaskan para tahanan. Akhiri kekerasan. Hormati hak asasi manusia, dan keinginan rakyat yang diekspresikan dalam pemilihan baru-baru ini,” katanya.

Menurut dia, PBB melihat hancurnya demokrasi, penggunaan kekuatan brutal, penangkapan sewenang-wenang, penindasan dalam segala bentuknya. Pembatasan ruang sipil. Serangan terhadap masyarakat sipil. Pelanggaran serius terhadap minoritas tanpa akuntabilitas.

Informasi terkini, dikabarkan ada tiga pengunjuk rasa telah ditembak mati, termasuk seorang remaja berusia 16 tahun yang ditembak di Mandalay pada hari Sabtu dan Mya Thwate Thwate Khaing yang berusia 20 tahun, yang ditembak di kepala pada protes di ibukota pada 9 Februari dan meninggal.

Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, mengaku sangat prihatin tentang ancaman kekerasan militer. “Peringatan bagi junta: Tidak seperti 1988, tindakan pasukan keamanan dicatat dan Anda akan dimintai pertanggungjawaban,” tulis Andrews di Twitter.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan 640 orang telah ditangkap sejak kudeta dimulai dan 594 masih ditahan. Myint Oo, seorang anggota parlemen, juga termasuk di antara mereka yang ditahan pada Minggu malam. (Reuter/BBC/CP)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini