Sabtu, 27 Juli 2024

Setelah KPK Ciduk Bupati Bogor, BPK Wajib Bersih-Bersih

BOGOR — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) didesak untuk segera melakukan ‘bersih-bersih’ terhadap pejabat atau pegawai pascaterjadinya operasi tangkap tangan (OTT) kasus dugaan suap yang menyeret sejumlah pegawai BPK perwakilan Jawa Barat dan Bupati Bogor Ade Yasin.

“BPK harus mulai ‘bersih-bersih’ terhadap pejabatnya di pusat maupun daerah yang mudah menerima suap atau sengaja meminta suap kepada pemerintah/pemerintah daerah/instansi yang menjadi objek audit,” ujar Sekretaris Jenderal Forun Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/4).

Selama ini, imbuhnya, banyak instansi pemerintahan serta pemerintah daerah mengejar opini WTP yang menurut Misbah hanya bersifat administratif. Selain itu, predikat WTP tidak menjamin pemerintahan daerah bebas dari penyimpangan. Hal yang justru didorong, menurutnya, akuntabilitas dan efektivitas anggaran yang tepat sasaran.

Sehingga, manfaatnya bisa dirasakan masyarakat miskin dan rentan. “Banyak daerah yang mendapat opini WTP tetapi tingkat kemiskinannya masih sangat tinggi, termasuk yang terbaru di Kabupaten Bogor,” imbuhnya.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong penguatan mekanisme kontrol serta dibukanya ruang agar proses audit BPK tidak dimonopoli. Sebaiknya, ujar Misbah, audit dilakukan salah satu bagian atau auditor saja, sehingga tidak ada ruang gelap yang berpotensi menjadi celah korupsi atau suap.

Di samping itu, Fitra Mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengaudit ulang atau audit investigatif terhadap daerah-daerah yang berpotensi melakukan tindakan yang sama dengan pemerintah kabupaten Bogor.

Ruang bagi masyarakat dalam mengawasi proyek pemerintah, diyakini bisa menjadi bagian dari pengawasan atau audit sosial. “Banyak proyek yang tidak jelas kemanfaatannya bagi masyarakat tetapi secara administratif dinyatakan baik,” ujar Misbah.

Baca Juga :  Jegal Budi Gunawan jadi Kapolri, KPK Tersusupi Kepentingan Politik

Sementara itu, Peneliti Fitra Gunardi Ridwan menjelaskan opini WTP dianggap menjadi gambaran dari kinerja akuntabilitas pengelolaan keuangan publik. Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 terdapat 4 (empat) jenis opini yang diberikan oleh BPK RI berdasarkan hirarki (nilai terbaik-terburuk.

Yakni Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion, Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion, Opini Tidak Wajar atau adversed opinion dan pernyataan menolak memberikan opini atau disclaimer of opinion.

Untuk mengejar status WTP, terang dia, instansi terkait perlu memenuhi kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, selain itu instansi terkait juga perlu melengkapi kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.

“Keempat prasarat tersebut bukanlah perkara mudah bagi intansi bermental korup, hal ini kemudian memunculkan ide untuk mengakali opini BPK seperti kasus yang terjadi terhadap Bupati Bogor, Ade Yasin,” ucapnya.

Opini WTP, terang Gurnadi, bisa menjadi alat untuk memuluskan kepentingan para kepala daerah, salah-satunya untuk mendapatkan Dana Insentif Daerah (DID) dari pemerintah pusat dan mendapatkan kepercayaan masyarakat.

Sebagai informasi, Ade Yasin ditangkap KPK bersama 11 orang, Selasa (26/4). Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi pemberian suap terhadap jajaran pemeriksa BPK Perwakilan Jawa Barat untuk melakukan audit pemeriksaan interim (pendahuluan) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun anggaran 2021 Pemerintah Kabupaten Bogor. Tujuannya untuk meraih predikat WTP. (CP/**)

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini